04 Deg.

6 5 0
                                    


Deg!

Mata Amella tertuju kepada seseorang wanita yang sangat ia kenali. Wanita berambut panjang dengan wajah yang pucat itu terlihat tersenyum kepadanya. Lalu kemudian, perlahan berjalan keluar Indomaret dan menghilang.

Dengan perasaan yang tak karuan, dia berlari kecil menuju pintu Indomaret mencari keberadaannya.

Namun, tangannya ditarik oleh Aerlang yang membuat langkahnya terhenti. Dia yakin, itu adalan Melati! Sang ibu.

“Mau ke mana? Bayar dulu.” Melihat reaksi adiknya yang terlihat tidak biasa, “Lo kenapa? Amella!” khawatir Aerlang, dia memegang bahu adiknya menyadarkannya.

“Mama ... gue liat Mama tadi! Mama di sini trus dia senyum ke gue. Lalu pergi,” jelas Amella memburu dengan tatapan yang kosong.

Aerlang tidak mengerti apa yang Amella bicarakan. Bagaimana bisa dia menemui Mamanya? Padahal beliau sudah tidak ada. Apa adiknya ini berhalusinasi? Akhir-akhir ini Amella terlihat tidak baik-baik saja, apa yang sedang terjadi pada adiknya.

“Kita pulang.”

Aerlang menyelesaikan pembayaran dengan cepat, dan menarik Amella pulang.

“Jelasin,” titah Aerlang. Wajah Aerlang yang tegas dan auranya yang mengimitidasi itu memenuhi ruangan.

Amella terduduk di sofa apartemennya, dia terlihat ragu untuk menceritakannya. Dia takut Aerlang marah.

“Jelasin, Amella,” tandasnya sekali lagi.

Dengan ragu Amella akhirnya membuka suara. “Akhir-akhir ini gue sering mimpi in Mama, dan sering liat dia.”

“Mimpi?” Aerlang sudah tidak asing dengan kata satu itu, “Mimpi buruk?” tanyanya sekali lagi untuk memastikan.

“Gue ngga tau, tapi di sana gue liat Mama dibawa pergi sama seseorang misterius.”

Aerlang terlihat termenung, “Trus?”

“Gue yakin, itu ada hubungannya sama kecelakaan dua tahun yang lalu,” matanya beralih menatap Aerlang yang sedang memperhatikannya, “Gue emang ngga inget apa yang terjadi saat kejadian itu. Oleh karena itu, gue bakal cari tau sendiri. Penyebab kecelakaan,” lanjutnya penuh keyakinan.

“Ngga usah aneh-aneh,” ucap Aerlang tidak yakin dengan apa yang dikatakan cewek itu barusan, “Lo itu masih kecil, ngga usah ngurusin begituan.”

“Enak aja, gue ngga mau pengorbanan gue selama ini terbuang sia-sia.”

“Lo nyurigain siapa? Dia? Jadi itu tujuan Lo selama ini?” tanya Aerlang dibalas anggukan oleh Amella.

Alasan yang sangat konyol. Jadi, tujuan Amella tetap tinggal di rumah neraka itu hanya karena mencurigai Ayah tirinya? Aerlang mengusap wajahnya kasar. Dia tidak habis pikir dengan adiknya itu, bagaimana bisa dia mengorbankan dirinya untuk alasan yang kurang jelas seperti itu.

“Lo akan tetep tinggal di sini terus. Tinggalin rumah itu, dan lupa in tentang kecelakaan itu,” perintah Aerlang. Kini dia terlihat serius, bahkan Amella tidak berani menolaknya, “Masuk kamar, trus tidur.” Lanjutnya.

Aerlang menghela nafas kasar. Dia menutup matanya dan memijat pelipis pusing.

Apa lagi ini? Lalu selanjutnya apa?


***


“Mampus, gue terlambat lagi. Kalo gini terus, gue bisa diskors.”

Amella menatap lemah gerbang sekolahnya yang sudah tertutup rapat. Hari ini adalah hari Senin. Oleh karena itu, gerbangnya ditutup lebih pagi.

Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang