05 Bintang dan keinginan

13 6 0
                                    

Amella memandang kelap-kelip bintang di langit dari halte bus yang dekat dengan sekolahnya.

Sudah 2 jam lebih dia duduk termenung di sana. Entah kenapa mimpi dan perkataan Aerlang terus menerus memenuhi kepalanya, dia bingung harus bagaimana. Perkataan Aerlang ada benarnya juga, dia tidak seharusnya mencari penyebab kematian ibunya yang hanya bermodalkan mimpi. Ya, benar. Memang alasan yang sangat konyol, bagaimana bisa dia punya pikiran seperti itu?

Amella mengacak-acak rambutnya frustrasi. Kepalanya pening, dia tidak tau harus pulang ke mana malam ini. Apa dia pulang ke apartemen Aerlang saja? Tidak, jangan. Mau tidak mau dia harus pulang ke rumah orang tuanya. Sejujurnya Amella tidak membenci Ayah tirinya itu, karena dulu Ayah tirinya sangat menyayanginya sebagaimana seharusnya. Dia yakin, Ayah tirinya itu hanya butuh waktu.

“Dingin banget.”

Amella menoleh ke samping saat merasa ada seseorang yang ikut duduk di sebelahnya, “Lo lagi?”

“Iya, gue lagi.” Naka tersenyum memperlihatkan lesung pipinya manis. “Kenapa belum pulang? Udah malem, lo ngga takut diculik? Masih pakai seragam sekolah lagi.”

“Ngga tau, gue bingung harus pulang ke mana. Tiba-tiba aja gue lupa arah jalan pulang,” jawab Amella dengan pandangan yang kosong.

“Mau gue buatin rumah?” celetuk Naka sembarangan. Naka tidak mungkin bisa membuat rumah, dia kan masih seorang pelajar. Mungkin maksudnya bukan rumah yang itu.

“Ha? Mana bisa,” Amella melirik wajah Naka sekilas, ternyata wajahnya saja yang terlihat seperti orang benar.

“Bisa. Tapi gue butuh waktu."

Amella kembali melirik Naka. Sekarang mereka saling bertukar pandangan. Entah mengapa mata Naka sangat cantik. Terdapat sedikit rasa nyaman saat mata mereka bertemu.

“Banyak banget bintangnya hari ini,” sela Naka menyudahi tatapan mereka.

Amella mengikuti arah pandang Naka. Benar, hari ini memang lebih banyak bintang di langit, sangat cantik.

“Itu bintang jatuh?” tanya Amella saat melihat kilatan cahaya kecil di tengah-tengah ratusan bintang. “Buat permohonan!” seru Amella cepat.

Dia menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajahnya, dan menutup mata.

Tak lama kemudian, dia membuka mata dan terheran ketika melihat Naka yang hanya memerhatikannya. “Lo ngga bikin permohonan?”

“Lo percaya itu?”

“Engga,” jawab Amella tanpa pikir panjang, “Gue emang ngga percaya itu. Tapi, gue punya keinginan.”

Amella menatap jauh ke langit. Dia hanya ingin titik terang. Agar segera mendapatkan ketenangan dari rasa bersalah yang terus menggerogoti jiwanya. Lalu dia kembali menatap Naka yang masih tak mengalihkan pandangan, “Lo ngga punya keinginan?”

Pertanyaan dari Amella itu membuat Naka termenung.

Apa keinginannya? Apa yang sebenarnya dia harapkan selama ini?

“Gue Cuma mau nikmatin hidup gue bareng orang-orang yang gue sayang.”

“Kata-kata lo kayak mau pergi aja,” sahut Amella membuat Naka terkekeh.

“Udah ah, ayo pulang. Gue anter.”

“Ngga usah, gue bisa pesen ojek,” Amella mengambil ponselnya. “Eh kok ngga nyala,” gumamnya menyadari tak ada respons dari ponselnya itu. Dia membuang nafas berat, pasti ponselnya lowbat. Pantas saja tidak ada telefon dari Aerlang, pasti sekarang abangnya sudah meneleponnya berkali-kali.

Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang