16 Harapan

14 5 2
                                    

Langkah Aerlang tiba-tiba terhenti, saat melihat kerumunan orang-orang dan polisi di sana, dia juga bisa melihat mobil ambulans. Dia hanya terdiam mematung. Kini dia basah kuyup, karena menembus hujan yang saat ini pun belum juga berhenti, ia juga bisa merasakan perih di bagian lutut, terdapat cairan merah menetes dari sana, memang dia sudah beberapa kali jatuh ketika berlari dengan kecepatan tinggi. Dia tidak bisa mengendalikan emosinya, pikirannya kacau tak tertata.

Aerlang memberanikan melangkah mendekati kerumunan tersebut, sejujurnya dia takut kalau itu benar-benar mereka.

Melihat seorang wanita yang tergeletak di tengah aspal tak sadarkan diri dengan cairan merah di sekelilingnya, membuat Aerlang mati rasa. Matanya memanas, lututnya melemas. Wanita yang baru saja menghabiskan waktu bersamanya dengan kebahagiaan dan memintanya untuk menunggu berjam-jam tapi semuanya terasa terjadi begitu saja  secepat kilat. Secepat masa depan penuh warna di hadapannya yang telah direnggut dunia. Secepat seluruh kebahagiaannya yang hilang seketika. Aerlang merasa seperti sebuah batu seberat ribuan ton telah dijatuhkan tepat di ulu hatinya. Telinga Aerlang mendengar suara ambulans bersahutan dengan suara penuh iba campur ngeri dari orang-orang di sekitarnya.  Hal yang paling ia takutkan benar-benar terjadi. Dan hari ini, Aerlang telah kehilangan seluruh hidupnya.

Benar, Amella? Di mana dia? Dengan cepat dia berdiri dan berjalan melewati pembatas polisi mencari sang adik. Namun, dia di cegah oleh seorang polisi, area itu sedang dalam proses penyelidikan, jadi tidak ada yang boleh mengganggu polisi. Tapi karena kekhawatirannya yang mendalam, dia tetap bersikeras untuk masuk.

Dia kacau, dunianya berantakan. Tidak ada hal lain yang berada di pikirannya kecuali mereka.

“Adik saya, tolong! Di mana dia?!” seru Aerlang terus memberontak meminta masuk kepada polisi itu.

“Keluarganya?” tanya polisi itu sadar, dia melepas cengkeramannya, “Gadis itu sudah berada di ambulans di sana.” Polisi itu menunjuk salah satu ambulans. Tak sempat melanjutkan katanya karena Aerlang sudah berlari menjauh.

Dengan cepat dia berlari mendekati ambulans itu, dan mendapati Amella yang tertidur lemas di atas brankar di dalam mobil itu, dengan luka dan darah di bagian kepalanya. Dia ingin masuk, namun petugas telah menutup pintu ambulans tak sempat. Aerlang berpikir, tidak masalah, karena Amella harus segera mendapatkan perawatan.
Dia berganti berlari mendekat ke ambulans Melati.

Kondisi ibunya terlihat lebih buruk dari Amella. Aerlang langsung masuk ke dalam ambulans itu. Seketika dia tidak bisa menahan emosinya dan menangis sejadi-jadinya.

“MA ... MAMA!” teriak Aerlang histeris melihat kondisi Melati yang sangat miris.

Aerlang benar-benar putus asa, dia melihat kedua orang tersayangnya kesakitan sendirian. Terdapat rasa bersalah di hatinya, seharusnya dia yang mendapatkan luka itu, bukan mereka.

Aerlang terduduk di lantai rumah sakit. Saat ini, dia benar-benar terlihat sangat kacau, namun tetap tak peduli, yang terpenting adalah mereka. Dia melirik pintu UGD yang mulai terbuka, dengan cepat dia berdiri di depan dokter yang baru saja keluar.

“Bagaimana?!” seru Aerlang cepat, tak sabar.

“Dia telah tiada."

Deg!

Aerlang tersentak kaget dari tidurnya. Dia membuka matanya dan mendapati tembok hitam, persis tembok kamarnya. Aerlang memijat pangkal hidungnya pusing. Lagi, ini sudah puluhan kali dia memimpikan kejadian itu, kejadian di mana menjadi luka sekaligus trauma baginya.

Aerlang baru ingat, kemarin Amella melihatnya dalam kondisi yang kacau. Dia meringis pelan, bagaimana jika Amella khawatir kepadanya.
Dia berjalan keluar kamar, dan mendapati nasi goreng juga telur omelette di atas meja makan lengkap dengan nasi dan sendoknya tertata rapi.

Dia menarik kedua alisnya ke atas, tidak biasanya dia melihat pemandangan seperti ini.

“Udah bangun lo,” ucap Amella tiba-tiba datang, dia sudah siap memakai seragam sekolahnya rapi, “Sarapan dulu.”

Sepertinya ini ulah cewek itu. Tapi, tidak biasanya dia seperti ini. Apakah dia mengasihaninya? Setelah kejadian kemarin.

“Kenapa lo? Sini,” ajak Amella. Dia sudah terlebih dulu memakan sarapannya yang ia buat tadi pagi.

Dia sengaja membuat sarapan untuk Aerlang. Berharap dia sedikit lebih tenang, dan tidak merasakan sendirian. Karena, dia masih mempunyainya di dunia ini. Tapi, karena Aerlang masih sering menyendiri dan memendam lukanya sendiri seolah dia tak punya siapa pun untuk menolongnya. Oleh karena itu, dia ingin membuktikan bahwa Amella akan selalu bersamanya, tak akan dia biarkan Aerlang merasakan kesepian lagi. Harapan untuk membuat Aerlang sembuh terlintas di benaknya.

“Tumben, kesambet apaan lo,” ucap Aerlang sembarangan.


***


Aerlang dan Amella datang ke sekolah bersama. Ini pertama kalinya Aerlang membonceng Amella hingga masuk ke parkiran bersama, biasanya Amella akan memberontak meminta diturunkan sebelum dekat dengan area sekolah, mungkin dia takut identitasnya sebagai adiknya akan terbongkar. Tapi, kali ini tidak demikian.

Mereka terus berjalan bersama di koridor sekolah, tidak menghiraukan pasang mata yang melirik mereka sepanjang jalan. Aerlang melirik Amella sekilas, dia khawatir jika terjadi sesuatu kepada Amella setelah mereka terlihat lebih dekat saat ini.

Amella mendapati Vanesa yang juga sedang berjalan dari arah yang berbeda, dia terlihat kesal. Amella menarik ujung bibirnya, sambil melihat Vanesa, yang terus berjalan hingga melewati mereka.

Vanesa menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap tajam punggung mereka berdua. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat menahan amarah.

Sementara itu. Mereka berdua tetap berjalan santai.

“Babay!” Amella melambaikan tangannya saat Aerlang lanjut menaiki tangga selanjutnya, “Bang ...” bisiknya pelan, yang bisa Aerlang baca dari pergerakan bibirnya, “Erlang!” lanjutnya dengan suara yang lantang.

Aerlang menatap kepergian Amella terheran, dia benar-benar berubah, sangat lucu. Sepanjang perjalanan menuju kelasnya dia tak berhenti tersenyum, dia hanya berpikir sikap Amella sangat menggemaskan.

“Enggak! Mending, baca aja di artikel pasti banyak,” ucap Zaky kepada Debrio yang sudah memasang wajah bingungnya.

Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Zaky dan Debrio yang mengobrol di sebelah bangkunya yakni bangku Debrio.

Aerlang duduk di kursinya dan merapikan tasnya, “Tumben kalian deket, sejak kapan kalian sahabatan?” tanya Aerlang bercanda.

“Gak! Enak aja sahabatan! Gue Cuma tanya PR kemarin. Tapi dia malah random nyeritain hal lain, heran,” jawab Debrio tak terima.

“Nah mangkanya gue kasih tau, jawabannya banyak di artikel itu. Mangkanya banyakin literasi yang berguna, bukannya malah mainin cewe,” sambung Zaky.

“Enak aja mainin cewe. Gue ngga pernah sakitin cewek yaa.”

“Gue tau, lo saat itu berangkat bareng cewek kelas sebelas bareng, trus kalian ketemuan nagih utangnya di kantin iya kan,” ungkap Zaky cepat.

Zaky memang tak pernah melewatkan satu kejadian pun di sekolah ini. Tapi tunggu, jika dia mengetahui semuanya, mungkin dia juga tahu nama perempuan itu. Tidak jangan sampai ada yang tahu lagi. Bisa-bisa banyak temannya yang akan menggoda Amella setelah ini, atau mungkin malah merundung Amella, karena dia dekat dengannya.

“Amel—“ potong Zaky belum sempat melanjutkan katanya karena Debrio terlebih dahulu membekap mulutnya.

Mendengar itu Aerlang refleks menoleh ke arah mereka berdua. Iya benar, nama Amel tidak satu di sini, mungkin maksudnya yang lain. Aerlang kembali memfokuskan mengerjakan tugasnya kemarin.

“Zak, mending lo lanjutin ceritanya! Sampai mana tadi? Artikel ya? Artikel bahas tentang apa aja?” tanya Debrio sembarangan. Dia pun tidak tahu sedang mengatakan apa, dia hanya perlu membuat Zaky berhenti membahas itu.

Zaky menepis tangan Debrio darinya, “Yee, jadi gini, artikel tuh banyak banget jenisnya. Tinggal lo aja mau cari pertanyaan atau berita apa, ntar langsung muncul di sana,” terang Zaky, “Berita pembunuhan, dan kecelakaan juga ada. Kaya yang baru gue baca, kecelakaan di jalan Pancasila dua tahun lalu yang korbannya satu orang ibu rumah tangga,” lanjutnya.

Tak sengaja terdengar di telinga Aerlang, ia langsung menoleh ke zaky.

“Kecelakaan yang belum tau penyebabnya, soalnya aneh aja gitu.” Zaky tetap melanjutkan katanya.

Aerlang terlihat ingin berkata sesuatu kepada Zaky. Namun, tiba-tiba guru datang memasuki kelas yang membuat Zaky berlari kembali ke bangku nya yang berada jauh dari dirinya.
Aerlang terlihat termenung. Dari mana dia tau? Artikel? Dia masih mencoba mencerna kata-kata Zaky. Dia juga kagum dengannya yang bisa mengetahui segalanya. Namun, entah mengapa ada kejanggalan di hatinya.

***

vote

comment

scroll

Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang