25 Vanesa

8 4 1
                                    

Seseorang yang sering memberi kalian luka pun, juga tetap manusia. Yang memiliki luka.

***


Lampu-lampu mulai menyala, menggantikan lembayung yang menghilang digantikan oleh kegelapan dan angin yang menusuk tulang.
Amella berjalan di trotoar tengah kota. Gadis dengan pakaian serba hitam itu berjalan tanpa tujuan. Kalimat yang Aerlang ucapkan terus memenuhi kepalanya, semuanya terasa sangat mengejutkan baginya. Ditambah lagi, Dia takut Naka akan semakin stres atau bahkan sakit, setelah ditimpa semua masalah itu secara bersamaan.

Dia sungguh sangat menghawatirkan Naka.
Gadis itu menghentikan langkahnya, matanya menyapu tempat di sekitarnya, yang terasa tak asing baginya. Seketika, Amella mematung.
Memori kecelakaan itu tiba-tiba kembali berputar seperti radio rusak, matanya mulai memanas. Ketakutan yang sama kembali menusuk jiwanya.
Amella sadar, kini dia berada di jalan Pancasila. Iya, lokasi kecelakaannya. Pemandangan di jalan itu terlihat sedikit berbeda, banyak gedung baru di sana yang membuat jalanan itu ramai. Tak seperti dulu, saat kejadian itu berlangsung. Tapi, dia masih ingat tepat saat pembunuh itu melakukan aksinya. Dia juga tak tahu, kenapa bisa sampai berasa di sini, kebetulan yang tidak berguna.

Amella menggelengkan kepalanya, menyadarkannya. Nafas gusar keluar dari mulutnya. Dia tak boleh berlama-lama berada di sini. Amella mengambil langkah lebar dan cepat, untuk meninggalkan tempat itu segera.

Saat ia rasa sudah cukup jauh berjalan, Dia memelankan langkahnya. Ini sudah malam, Amella harus segera pulang, jika tak ingin Aerlang marah lagi.

Langkah Amella terhenti ketika baru saja melewati sebuah tempat kosong dan gelap, dia mendengar suara tangis perempuan di sana. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri, jujur dia tak berani memeriksanya. Tapi, suara itu tak seperti suara hantu, itu seperti suara tangis seseorang manusia. Jadi, Amella memeriksanya, walaupun memang agak takut juga.

Dia melangkah perlahan mendekati kegelapan, di antara  2 bangunan itu. Matanya menelusuri setiap sudut yang gelap. Kemudian, membulat ketika berhasil menemukan gadis dengan gaun yang menangis dengan memeluk lututnya.

“Siapa? Kenapa?” tanyanya agak ragu.

Gadis itu mengangkat kepalanya, menampilkan wajahnya yang sebab, make upnya luntur bersama air matanya. Luka lebam di bawah matanya, dan bercak merah di ujung bibirnya. Amella menautkan kedua alisnya dan menyipitkan matanya memperjelas penglihatan, seperti tidak asing.

“Ka ... Vanesa?”

Sialan! Kenapa harus dia yang menemukannya. Vanesa meringis. Cewek dengan penampilan cantik itu, mengusap pipinya, bekas air matanya mengalir. Vanesa beralih menegakkan badannya dan berusaha pergi dari sana.

“Kak? Ngapain di sini, malem-malem. Nangis lagi.”

“Bukan urusan lo,” ketusnya tanpa melirik Amella, dan meneruskan langkahnya.

“Awas, jatoh ...” Amella mengerjapkan matanya, saat melihat Vanesa terjatuh karena tersandung kakinya sendiri. Dia bergerak dengan segera, untuk membantu cewek itu berdiri.

Vanesa terlihat kesulitan dengan gaun ketat yang ia pakai. Amella juga terheran, mengapa gadis ini menggunakan gaun cantik. Tetapi, malah menangis di sudut yang gelap. Benar! Amella baru ingat, hari ini adalah pesta ulang tahun Vanesa. Di hotel, dekat jalan Pancasila.

Seharusnya, ia merasa bahagia, kan. Namun, Dia malah terlihat berantakan. Itu, tidak seperti Vanesa yang ia kenal biasanya. Pembully, tukang buat onar, menyebalkan. Tapi tidak dengan sekarang. Sangat berbeda jauh, dari sifatnya yang itu.

“Pergi!”

“Argh ...” lirih Vanesa kesakitan. Dia kembali terduduk, menyentuh lutut dan sikunya yang terluka.

Gadis bergaun itu melirik tajam Amella, “Mending lo pergi!”

“Gue masih punya hati.”

Susah payah Amella membujuk Vanesa agar mau ditolongnya. Dia menuntun Vanesa  ke Indomaret terdekat, untuk mengobati lukanya. Melihat kondisi Vanesa yang miris dan berantakan, membuatnya merasa iba. Walaupun, Vanesa sering mengganggunya.

Vanesa melirik Amella yang dengan telaten mengobati lukanya. Kenapa cewek ini menolongnya? Padahal dia sering membuat masalah kepadanya. Apa, dia sekarang sedang mengejeknya? Karena, melihatnya kacau seperti tadi? Ah, jika diingat lagi. Sangat memalukan.

“Gue bisa sendiri.” Dia mengambil paksa kapas dan obat di tangan Amella, dan mulai mengobati lukanya sendiri.

Amella menghela nafas berat, Vanesa memang sangat keras kepala. Dia meringis saat merasakan perutnya berbunyi, menandakan lambungnya yang kosong dan perlu asupan makanan.
Kepalanya menoleh ke sana-kemari, mencari makanan untuk mengisi perutnya. Matanya membinar saat mendapati pedagang kaki lima yang menjual bakso.

“Kak, laper nggak? Makan yuk, bentar! Tunggu sini.”

Dia berlari kecil mendekati pedagang bakso itu.
Dan kembali, dengan membawa dua mangkuk bakso yang berada di kedua tangannya.

“Nih, makan! Pasti belum makan malam, kan? Aku yang traktir,” ujarnya. Menaruh kedua mangkuk itu di meja depan Indomaret.

“Lo ... mau ngasih makan gue, pakek makanan ginian?” tanyanya bergidik ngeri. Makanan yang terlihat tak sehat, makanan jalanan, yang penuh lemak. Sangat tak cocok dengan dirinya saat ini, masih ada kah orang yang memakan makanan seperti ini?

Amella sedikit kesal dengan respons Vanesa, “Kalau nggak mau, nggak usah dimakan,” ucapnya, kemudian melanjutkan makannya.

Vanesa melihat Amella yang makan dengan lahap. Jika dipikir-pikir, dia juga belum makan malam. Itu terlihat tidak buruk. Bolehkah Dia mencobanya sesuap? Ya, hanya sesuap saja.

Dengan ragu, Vanesa mengambil mangkok itu dan menyuapkan sebutir bakso ke mulutnya.

Ujung bibir Amella tertarik. Memang, gadis yang gengsinya sangat besar. Lihat, sekarang Dia memakan bakso itu dengan lahap.

Matanya tertuju ke jaket yang ditaruh di sebelah tempat duduk Vanesa. Amella baru ingat, Vanesa tadi sempat memakai jaket itu tadi. Jaket yang persis Pembunuh itu pakai, saat melakukan aksinya. Ya, Dia sangat ingat jelas.

“Kak, itu jaket siapa?” tanyanya to the point
Vanesa melirik sekilas jaket di sebelahnya, kemudian langsung melanjutkan makannya.

"Debrio."

Apa Dia tak salah dengar? Debrio? Mereka, kenal dekat?

“Hubungan kalian apa?”

Vanesa berdecak sebal, sepertinya dia tak menyukai pertanyaan itu, “Sepupu gue. Eh, nggak! Mana mungkin gue punya saudara setan kek dia! Anak anjing, itu yang udah lakuin ini ke gue! Bisa-bisanya Dia memperlakukan gue kek serangga! Emang sialan tu anak!” cibir Vanesa dengan emosi. Matanya memanas, cairan bening sudah mengumpul di matanya.

“Emang ngga punya otak, Mereka. Gue ... capek.” Lirihnya, dengan suara yang bergetar.

Vanesa tak bisa menahan air matanya. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, dan menangis di sana. Jujur saja, dia sudah sangat lelah dengan semuanya. Berpura-pura menyibukkan diri sendiri di luar, berharap tak mendapat siksaan itu untuk sementara.

Amella terdiam. Apa yang sudah Debrio lakukan kepada cewek ini? Hingga, seseorang yang suka membuat luka padanya, gadis yang Ia lihat hidupnya penuh kesejahteraan dan semua yang sudah terpenuhi. Ternyata juga memiliki luka yang mendalam pada jiwanya. Dia tak seperti Vanesa yang ia kenal.

Lelah, berantakan, dan penuh luka.

Tangan Amella bergerak menepuk punggung cewek itu menenangkannya.
Sejujurnya, dia juga tidak tahu, luka apa yang Vanesa dapat, hingga membuatnya seperti ini. Yang dia percaya sekarang hannyalah Vanesa butuh tempat cerita dan sandaran dari lelahnya. Oleh karena itu, Amella mendekat dan memeluknya sebentar.



***

tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang