21 Pembunuh

8 4 0
                                    

“Kalau gitu, gue duluan,” pamit Debrio. Dia melangkah pergi keluar kelas.

Aerlang menatap punggung Debrio sambil tetap memikirkan masalah itu. Tunggu, benar! Bagaimana bisa dia melupakan masalah Amella! Amella bilang dia di jodohkan dengan Debrio, ‘kan? Tapi, kalaupun benar, dia harus berbuat apa? Lagi pula, Amella tak akan menemui Noval lagi. Jadi, dia tak perlu terlalu memikirkan masalah itu.

Dia ingin fokus menyelidiki sendiri masalah kecelakaan yang ternyata adalah pembunuhan itu.

Ternyata, Aerlang sangat tertarik untuk menyelidiki Debrio lebih dalam. Entah mengapa, Dia merasa Debrio akan sedikit membantunya.
Debrio main kasti sejak kelas X.
Dia membutuhkan lebih banyak informasi tentang Debrio, sepertinya dia membutuhkan bantuan seseorang.

Benar! Zaky! Dia adalah teman sekelasnya saat kelas X, bukan? Apa perlu dia bertanya kepada Zaky? Maksudnya, dia harus meminta tolong lagi.
Aerlang berdiri dari duduknya, matanya menelusuri ruangan itu, mencari seseorang yang sepertinya bisa menjawab pertanyaannya. Merasa tak menemukan Zaky dia berlari keluar. Dia terus berlari kecil mencari cowok itu ke seluruh sudut sekolah ini.

Matanya terhenti ketika mendapati Zaky duduk dengan tenang di taman, dengan buku yang sudah berada di tangannya. Aerlang berjalan mendekat.

“Zak,” panggil Aerlang membuat fokusnya membuyar, “Sorry, gue cuma mau terima kasih karena udah bantuin gue kemarin,” ucap Aerlang sedikit berbasa-basi terlebih dahulu.

Zaky tersenyum, “Ya elah. Nggak apa-apa! Gue juga seneng kok bisa bantuin lo! Lo boleh minta bantuan gue kapan-pun.” Walaupun sejujurnya dia tak berbicara apa adanya, jujur dia sangat lelah kemarin.  Bahkan, dia belum siap jika harus menerima bantuan dari Aerlang lagi. “BTW, Lo lari-larian Cuma mau ngomong itu?” tanya Zaky.

“Jujur, gue nggak enak sama lo. Tapi, gue bener-bener butuh bantuan lo lagi.” Ujar Aerlang tak enak.

“Lo, kelas X satu kelas, kan sama Debrio? Bisa lo ceritain? Coba lo ceritain, ke anehan dari orang itu.”

Zaky kembali menautkan kedua alisnya. Sepertinya Aerlang tertarik dengan Debrio. Dia ingin menjawabnya, namun Zaky terlihat ragu untuk memulai kalimatnya.

“Debrio ya? Sebenarnya saat kelas X, dia udah cukup populer karena ya udah jelas, kan dia kaya. Tapi, dia sempet menghilang 3 bulan saat di tengah-tengah proses pembelajaran. Dia ilang, nggak ada kabar selama itu. Kemudian dia muncul, dan bersikap biasa seperti tak melakukan apa pun. Dia itu sering ilang-ilangan kalo setau gue,” terang Zaky panjang lebar.

Aerlang mendengarkannya dengan seksama.

“Oh iya, dia juga ilang kan 2 bulan lalu. Ada rumor kalau perusahaannya bangkrut. Tapi, ternyata perusahaannya baik-baik aja. Hidupnya penuh misteri,” lanjut Zaky.

Aerlang menganggukkan kepalanya mengerti. Aerlang baru saja ingat, memang berita itu sudah menyebar di telinganya, namun dia sering mengabaikan karena ingin fokus belajar. Aerlang jadi penasaran, kapan detail Debrio saat menghilang.

“Thanks bro. BTW, kalo boleh tau lagi, kapan tepatnya Debrio menghilang pas kelas X itu?” tanya Aerlang lagi untuk memastikan.

Zaky terlihat berpikir sejenak, kemudian, “Oh, keknya. September sampai November! Dia menghilang 3 bulan itu!” serunya baru ingat.

Tepat sekali. Bulan September adalah bulan di mana, dia kehilangan ibunya. Tidak, dia tak boleh terlalu mencurigainya. Kalau pun, iya. Kenapa? Kenapa dia melakukan itu? Apa tujuannya? Dia masih seorang pelajar, dari mana dia mendapat kreativitas itu? Mengapa Dia berani-beraninya membunuh seseorang?

“Gue denger, dia punya pacar. Siapa?” Aerlang kembali melayangkan pertanyaan kepada Zaky.
“Betul, dia sempet punya pacar. Tapi, gue nggak pernah liat pacarnya lagi. Mungkin udah putus dan pindah sekolah?”

Aerlang mengangguk paham. Bahkan, dia pernah mempunyai seorang wanita yang ia sukai. Lalu, jika benar dia adalah pelakunya, kenapa dia sangat tega? Tapi, pacarnya sama seperti Debrio. Dia menghilang entah ke mana.


***


Bel pulang sekolah telah berbunyi, menandakan kegiatan belajar mengajar di sekolah telah berakhir. Amella sudah menunggu Aerlang di parkiran, hingga hari ini pun Amella masih tinggal bersama Aerlang. Amella agak takut, jika Aerlang mengalami masa sulitnya sendirian lagi.

“Ayo,” ajak Amella kepada Aerlang.

Mereka berkendara pulang dengan santai, menikmati angin sore yang dingin. Entah, hari ini mood Amella sangat berubah-ubah, terkadang dia baik juga tiba-tiba sangat pemarah. Apakah akan kedatangan tamu bulannya lagi? Ah sudahlah.


***


“Ma ...? Ada apa lagi?” tanya cewek itu kepada wanita di sebelahnya yang sedang menyetir mobilnya. Dia terlihat menahan air matanya.

Amella merasakan bahwa Melati sang ibu menancapkan gasnya lumayan kencang, “Pelan-pelan Ma ...” lirihnya khawatir.

“Maafin Mama Amella sayang—“

“Ma awas!!” seru Amella keras.

Matanya membelalak saat melihat ada seseorang menyeberang tiba-tiba. Untungnya, Melati dengan cepat membanting stirnya. Yang menyebabkan mereka menabrak pembatas jalan.

Amella merasakan sakit di kepalanya saat berbenturan dengan kaca mobil. Untungnya dia memakan sabuk pengaman.

Nafas wanita itu memburu, jantungnya berdegup kencang. Melati panik, dia terlihat khawatir dengan Amella. Terdapat perasaan menyesal yang besar saat ini.

“Kamu nggak apa-apa?!” tanya Melati sambil memeriksa keadaan Amella. Dia bahkan tidak memeriksa keadaannya sendiri, padahal dia juga sama terluka.

Amella tak menjawab, Dia menunjuk seseorang yang hampir mereka tabrak sedang terjatuh di tengah jalan.

Karena sama paniknya, Melati dengan segera turun dari mobilnya dan berniat menolong seseorang itu. Dengan sempoyongan dan tubuh yang bergetar, dia memaksakan untuk memeriksa pemuda berjaket yang terjatuh di tengah aspal karenanya. Dan Amella hanya menunggunya di mobil.

“Maaf, kamu terluka?” tanya Melati sambil mendekat ke arah seseorang itu dengan lemah, “Oh, masih sekolah ya,” ucapnya saat melihat baju seragam yang pemuda itu kenakan. Ia menggunakan jaket hitam putih dan topi yang menutupi sebagian wajahnya.

“Maaf y—“

BUGH!

Kepala melati terhempas ke samping bersama tubuhnya, saat mendapat pukulan pertama dari pemuda itu menggunakan tongkat hijau yang ia bawa. Melati terlihat menahan sakit yang luar biasa di kepalanya, dia bisa merasakan sesuatu cairan keluar dari belakang kepalanya.

“Kenapa—“

Bugh!
Bugh!
Bugh!

Pemuda itu terus melayangkan pukulan ke kepalanya dengan sangat keras menggunakan tongkat kasti berwarna hijau yang ia bawa. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, dia terus membabi buta tanpa ampun. Sorot mata pemuda itu kosong, urat leher dan tangannya menonjol.

Melati sudah terkapar tak berdaya di atas aspal dengan darah segar di sekelilingnya. Jalanan itu lumayan besar. Namun, entah kenapa sangat sepi hari ini, tak ada kendaraan yang lewat di sini.
Pemuda itu menggoyangkan tubuh Melati dengan kakinya, memeriksa kesadaran Melati. Ternyata, tak ada respons dari wanita itu, dia rasa wanita itu telah tiada di tangannya.

“Ck, lemah,” gumamnya.

Pemuda itu menoleh ke mobil saat mendengar suara tangisan di sana. Sepertinya, masih ada orang. Dia berjalan ke arah mobil, dengan tongkat kasti yang ia seret di atas aspal, menciptakan suara khas gesekan dari kedua benda itu.

Amella menyaksikan kejadian itu dari awal, dia tak tahu harus melakukan apa. Dia menyaksikannya sendiri, ibunya terbunuh tepat di depannya.

Dia membekap mulutnya dengan kedua telapak tangannya kuat-kuat, berharap suara tangisnya tak terdengar. Dia semakin menangis ketika tahu, pemuda itu mendekat ke arahnya. Nafasnya sudah tak beraturan, keringat dingin yang sudah membasahi keningnya. Tidak! Jangan kemari! Matanya membulat ketakutan saat pemuda itu semakin dekat. Rasa ketakutan tiba-tiba menggerogotinya.

Pemuda itu membuka paksa pintu mobilnya. Dan langsung mendapati Amella yang sudah bergetar hebat ketakutan bukan main, wajahnya sudah di penuhi air mata. Sorot matanya terlihat sangat ketakutan.

Namun, pemuda itu tak peduli. Dia kembali melayangkan pukulan keras ke kepala cewek itu persis menggunakan tongkat yang sama. Pemuda itu sangat cepat hingga Amella pun tidak dapat meraih apa pun, untuk bisa menyelamatkannya.

Bugh!
Bugh!
Bugh!
Bugh!

Pemuda tak berperasaan itu terus memukul kepalanya tanpa ampun. Hingga mobilnya kini terdapat banyak cairan merah segar yang baru aja keluar dari kepala Amella yang kini sudah tak sadarkan diri.

Pemuda itu mundur beberapa langkah. Dia mengusap percikan cairan merah kental di pipinya menggunakan tangannya. Dia beralih melirik Amella dan Melati yang sudah terkapar lemah tak berdaya, secara bergantian. Apa yang ia lakukan? Ia kelepasan lagi. Ini akan menimbulkan masalah yang besar lagi. Pemuda itu memilih berlari secepatnya meninggalkan mereka yang sudah tak berdaya.


Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang