24 Pemakaman

3 3 0
                                    

“Ngapain ke sini?”

Amella menatap Naka bingung. Kemudian beralih mengikuti arah pandang Naka. “Cantik,” gumamnya ketika melihat pemandangan di depan mereka.

Kini, mereka sedang berada di pantai. Naka sengaja membawa Amella kemari, karena dia berpikir ini akan membantu menenangkan pikiran Amella sejenak dari masalahnya.

“Sini,” ajak Naka untuk lebih mendekat ke ke area pantai.

Mereka berdua berdiri di dekat pantai. Merasakan embusan angin yang menerpa wajahnya, dan suara ombak yang memenuhi pendengarannya. Hingga berhasil membuat mereka lupa sejenak dari masalah-masalah mereka.

Naka melirik Amella yang sedang memandang laut di depannya. Seketika, ujung bibirnya tertarik, dia tersenyum tipis. Lalu kemudian, terselip rasa ingin menjahilinya. Tangannya bergerak mengambil air laut, dan melemparkannya ke Amella.

Amella sedikit terkejut, dia menghindar. Sedikit kesal karena ulah Naka. Tak terima, Amella membalas dengan hal yang sama, terus menerus. Merasa Naka yang tak ingin mengalah, dia kemudian berlari menghindarinya. Begitu pun dengan Naka, yang juga mengejar Amella. Dengan suara tawa yang tak berhenti dari keduanya.

Naka mendudukkan dirinya di atas pasir. “Udah, stop. Capek,” ucapnya dengan nafas yang terengah-engah. Setelah berlari berputar-putar.

Amella kembali tertawa saat melihat Naka yang lelah karenanya, lalu ikut duduk di samping naka, “Capek, ‘kan. Siapa suruh jahil duluan.”

Naka tersenyum tanpa merasa bersalah, kemudian kembali memandang samudra biru di depan mereka. “Hari ini, lautnya kelihatan jauh lebih cantik.”

“Kenapa?”

“Karena, ada kamu.”

Amella terdiam. Pipinya sedikit memerah, dia tak bisa menahan senyuman di bibirnya. Ditambah lagi, saat Naka memanggilnya dengan sebutan ‘Kamu’.

“Panas banget. Bentar ya, tunggu di sini.”

Amella menyatukan kedua alisnya terheran, dia menatap Naka yang berlari menjauh. Dia tidak tahu, apa yang akan Naka lakukan. Matanya kembali tertuju ke depan, dia memandang dalam pemandangan laut di depannya. Hingga, embusan nafas berat keluar dari mulutnya.

5 menit kemudian, Naka datang dengan es krim yang berada di kedua tangannya.

“Maaf lama, nih.” Naka menyodorkan es krim cone itu kepada Amella.

“Dari mana dapetnya?” tanyanya heran.

“Ada.”

Amella dan Naka memakan es krim ditemani pemandangan indah dari pantai itu.
Naka terus menatap Amella. Terdapat banyak pertanyaan yang muncul di pikirannya.

Bagaimana keadaan Amella, saat dia telah pergi?
Dia jadi merasa bersalah kepadanya. Karena datang hanya untuk berpamitan.
Serakahkah dia jika ingin hidup lebih lama lagi?

“La ...” panggilnya.

Amella menoleh dengan wajah yang bertanya-tanya.

Drrt drrt.

Belum sempat bicara, ponsel milik Naka bergetar. Dia mengkode untuk mengangkat teleponnya terlebih dahulu.

“Iya halo?” ucap Naka kepada penelepon di sana.

Deg!

Tiba-tiba jantungnya berdegup kencang, dia punya firasat yang tidak enak. Padahal si penelepon belum mengatakan apa pun.

Dengan wali pasien kamar mawar 7?” ujar seseorang di sana.

“Iya-iya,” sahutnya cepat.

Seketika dia berdiri setelah mendengar ucapan seseorang di sana, dia terdiam. Matanya membulat, nafasnya tak beraturan, badannya bergetar. Yang ia takutkan benar-benar terjadi? Tidak. Dia menggelengkan kepalanya tak percaya. Matanya mulai memanas, lututnya melemas tapi ia berusaha menahannya.
Baru saja dia merasakan bahagia sesaat, ternyata dunia sudah menyiapkan sesuatu yang jauh lebih menyakitkan. Sebegitu tak menyukainya dunia kepadanya? Hingga, dia mengambil semua orang tersayangnya dari hidupnya.

“Ka ... Kenapa?” tanya Amella menepuk pundak Naka khawatir, “Naka? Lo ...”

“Gue harus pergi!”

Naka berlari dengan cepat ke arah parkiran, Amella pun tak tahu alasannya. Dia hanya membuntuti Naka dari belakang.

“Ka! Naka! Ada apa?! Kenapa lo diem aja? Tapi panik gini? Kenapa? Ngomong Ka!” kesal Amella.
Mereka sedang berada di area parkiran. Naka tetap tak bicara, jadi dia sedikit membentaknya.

Naka menghentikan aktivitasnya yang sedang sibuk dengan sepeda motornya.

“Ibu. Ibu ... udah ngga ada ...” lirihnya. Kemudian mata merahnya yang sudah dipenuhi air mata, menatap Amella, “La ... dia pergi.”

Amella terdiam. Dia tak menyangka, hal ini akan terjadi di saat yang seperti ini. Wajah cowok itu pucat pasi. Menyaksikan Naka yang sedang putus asa membuatnya merasa iba.

Naka mengendarai sepeda motor-Nya dengan kecepatan tinggi. Air mata yang tak berhenti keluar, tangannya terus bergetar saat sedang menyetir, dadanya mulai sesak. Hal yang ia takutkan di dunia ini telah terjadi, mereka semua telah pergi. Alasannya untuk tetap bertahan hidup di dunia ini, telah tiada. Sekarang tak ada alasan lagi baginya, untuk tetap hidup.


***


Sementara itu, Aerlang terus menggali segala informasi yang ia dapat. Mencari pembunuh itu sendiri, saat polisi yang sepertinya menyembunyikan faktanya. Dia terus berusaha dengan sekuat tenaganya, untuk menemukan orang yang telah membuatnya dan adiknya merasakan siksaan, hingga trauma.

Dia tak akan bisa memaafkannya.

Bahkan, pembunuh itu tak bisa disebut manusia.
Pembunuh yang tak punya otak untuk berpikir, hati untuk merasa iba, dan jiwa untuk hidup.

Dia hanya seekor daging yang berjalan, dan mempunyai tangan.
Dia bukan manusia. Mungkin, pisau yang bernyawa?
Dia hanya bisa menimbulkan luka, tanpa tahu luka yang ia sebabkan sangat menyakitkan.


***


Amella berdiri di depan makam yang baru. Dia melirik Naka yang masih setia duduk tepat di samping batu nisan sang ibu, dia terus menundukkan kepalanya tanpa mengeluarkan suara.

Dia, terlihat sangat kacau.

Kini suasana pemakaman sudah mulai sepi, hanya tertinggal mereka berdua. Amella sengaja mengikuti acara pemakaman untuk membantu Naka. Dan untuk pertama kalinya, dia melihat Naka sekacau ini. Bahkan, sepertinya Naka sedikit menahannya karena tak ingin terlihat lemah di depannya.

Dia berpikir, mungkin Naka butuh waktu untuk sendiri. Kemudian, Amella mulai mengambil langkah pergi dari sana.

“Jangan pergi.”

Kata yang pertama kali keluar dari mulut Naka, membuat langkahnya terhenti. Melihat Naka yang mulai menegakkan badannya dan berdiri tepat di depannya.

Naka terus menatap kedua manik mata Amella, Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi. Dia seolah berbicara dengannya menggunakan batin. Tak ada perubahan ekspresi di wajah Naka.

Mata yang sebam, bibir yang pucat, badan yang kurus. Itu yang Amella lihat, Naka sudah seperti mayat hidup. Terdapat rasa khawatir yang besar terhadapnya sekarang, ditambah lagi, Naka menatapnya aneh. Sulit dimengerti, kenapa laki-laki ini terus menatapnya seperti itu.

“Kenapa?” tanya Amella baru membuka suara setelah mengumpulkan keberaniannya memecahkan suasana.

Naka, laki-laki itu, menarik ujung bibir pucatnya sedikit. Sangat sedikit. “Makasih, udah nemenin dan bantuin,” ucapnya dengan suara khas Naka seperti biasa.

Amella akui, Naka memang hebat dalam menyembunyikan lukanya.

“Ngga apa-apa. Gue juga mau minta maaf, seharusnya lo nggak ngabisin waktu sama gue tadi,” sahut Amella tak enak. Tapi, sudah seharusnya Amella membantunya bukan. Laki-laki itu hidup sendiri bersama ibunya, dan sekarang beliau tiada. Kini, Dia benar-benar sebatang kara. Ditambah penyakit yang ia punya. Benar kata Naka, takdir sedang tak berpihak padanya.

“Makasih juga ... waktunya saat itu.”

Amella benar-benar tak mengerti maksud Naka. Dia, sering berubah-ubah kepribadian. Terkadang baik dan sopan, juga terkadang jahil dan menyebalkan. Tapi, sekarang? Amella bahkan tidak mengerti dengan perubahannya sekarang.

Drrt drrt.

“Angkat aja, siapa tahu penting,” kata Naka. Menyadari ponsel milik cewek itu bergetar, menandakan ada telepon masuk.

Amella menuruti kata Naka, kemudian menyentuh layar ponselnya dan menempelkan di telinga kirinya.

“Pembunuh itu ... orang yang sama.”

Deg.

Amella dan Naka saling bertatapan dan kembali bertukar pandangan. Mereka berdua terdiam seketika. Mencerna ucapan seseorang dari teleponnya.


***

tbc


Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang