20 Tongkat kasti

6 3 0
                                    


Amella berjalan santai menuju apartemen Aerlang yang berada di lantai 6. Dia baru saja melangkah keluar dari lift. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati Noval yang sudah berdiri tepat di depan pintu apartemennya. Betapa terkejutnya dirinya, ditambah lagi saat tahu Noval dalam keadaan mabuk, Amella tahu karena penampilan dan bau alkohol yang menyengat di indra penciumannya.

Dia melirik sekitar yang sepi, memeriksa apakah masih ada orang. Perlahan kakinya melangkah mundur saat Noval sadar kehadirannya dan mulai berjalan mendekatinya.

Dia benar-benar takut Noval akan menyakitinya lagi. Apa lagi, saat melihat kondisinya saat ini yang terlihat sangat menyeramkan.

Entah seberapa besar rasa takut yang menyelimutinya, hingga dia memutuskan untuk berlari dari sana. Dia berlari kabur. Namun, sepertinya gagal. Noval segera menyadari itu dan mencekal tangan Amella mencegahnya pergi.

“Mau ke mana kamu?! Anak sialan!” umpat Noval mencengkeram tangan Amella kuat.

“Kenapa mau malah kabur?! Seharusnya, kamu selesaikan dulu masalah itu! Ini semua gara-gara kamu!” marah Noval dengan nada tinggi.

Baru saja, dia tak melihat wajah dan tak mendengar umpatan-umpatan itu 1 Minggu lebih, tapi hari ini dia kembali bisa merasakannya lagi.
Sepertinya Debrio benar-benar gagal dalam hal membujuk orang tuanya. Hingga, Noval tetap marah kepadanya saat ini. Habislah Amella.

“Sebegitu bebannya ya kamu!” desis Noval.

“Maaf, Mella ada urusan,” ucap Amella menepis cekalan Noval yang membuatnya semakin emosi.
Tangannya bergerak dan terangkat ke atas ingin melayangkan sebuah tamparan keras ke pipinya. Namun, sebuah tangan berhasil mencegahnya.

Amella bernafas lega saat melihat Aerlanglah yang mencekal tangan itu.

“Apa yang Anda lakukan?!” hardik Aerlang, menghempas tangan Noval. Aura mengintimidasi cowok itu berhasil membuat nyali pria itu menciut. Noval tak tahu, Aerlang sangat jauh berubah dari dulu yang ia kenal. Aerlang sekarang terlihat lebih tegas, mandiri, dan tak banyak bicara. Ditambah lagi, sorot matanya tajam dan mengintimidasi.

“Saya tidak ada urusan denganmu, pergi!”

“Itu yang seharusnya saya bilang ke Anda, Pak! Mau apa kemari? Hanya untuk melakukan itu kepada Amella?” Aerlang berdecak sebal, “Pengecut.”

Mendengar itu Noval semakin emosi. Dia tak terima dengan kata-kata dari mantan anak tirinya itu. Tangannya terkepal, dia menggertakkan giginya. Berani sekali dia dengannya. Apa tak cukup dia mengusir Aerlang dari rumahnya? Apa perlu dia membuatnya seperti nasib ibunya? Seharusnya dia bersyukur masih diberi hidup hingga sekarang, padahal Noval bisa menghabisnya kapan saja.

“Kurang ajar kamu! Kamu mau saya buat Amella sama seperti ibumu?!” geram Noval, masih menahannya.

“Maksud Anda? Anda berbicara seolah memang ingin melakukannya. Anda terlihat seperti pembunuhnya,” desis Aerlang.

“Apa!” Noval semakin emosi, wajahnya berubah merah padam, urat lehernya menonjol. Setelah mendengar kata itu keluar dari mulut Aerlang.

Amella merasa perdebatan itu akan semakin dalam jika ia diam saja. Dia mengkode Aerlang agar segera pergi dari sana. Ini adalah lingkungan apartemen, banyak penghuni yang akan terganggu karena pertengkaran mereka. Sebelum itu terjadi, sebaiknya Aerlang mengabaikan orang tua satu itu.

“Sepertinya Anda harus pergi! Atau satpam yang akan menyeret Anda,” final Aerlang. Dia menarik tangan Amella untuk pergi masuk ke apartemennya, mengabaikan Noval. Jika ia menuruti Noval untuk terus bertengkar, itu tak akan ada akhirnya.

Amella masuk melepas sepatunya, dan berjalan masuk dengan kepala yang tertunduk, nafas lelah keluar dari mulutnya. Dia tahu Aerlang akan menanyakan hal ini kepadanya. Dia sangat lelah dengan semuanya.

“Lo udah mutusin buat keluar dari rumah itu, ‘kan Mel?” tanya Aerlang membuat langkahnya terhenti.

“Lalu, tadi itu apa?”

“Masalah kerja samanya yang Amella gagalin itu,” jawabnya lesu.

“Perjodohan konyol itu?” Aerlang berdecak. Drama macam apa lagi ini, yang tiada akhirnya. “Siapa?”

“Apanya? Oh. Ada, Bang Erlang juga kenal.”

Aerlang menaikkan salah satu alisnya, masih dengan wajah tanpa ekspresi khas miliknya.

“Itu temen kelas Abang, Debrio namanya"

Deg.

“Debrio? Jadi, lo dijodohin sama Debrio?” tanya Aerlang lagi memastikan.

“Iya. Ah udah. Gak usah dibahas, capek. Gue udah muak sama orang itu,” celetuknya.
“Gue nyeraah!” berang Amella keras, seolah mengeluarkan sedikit bebannya.

“Bagus. Jauhin dia kalau perlu.”

“Tongkat kasti hijau persis yang berada di TKP pembunuhan Kakak?!”

Mendengar itu Zaky dan Aerlang langsung menoleh ke Naka, dengan wajah yang penuh tanda tanya.

“Maksud lo?!” tanya Aerlang mewakili.

“Iya! Persis!” seru Naka lagi. Dia beralih menatap mereka, dan mendapati wajah bingung mereka, “Kakak gue korban pembunuhan, dan di TKP ditemukan tongkat kasti hijau! Yang diduga itu yang buat membunuhnya!”

Aerlang menautkan kedua alisnya, dia termenung.

“Tunggu! Coba zoom di bagian ini!” perintah Naka kepada Debrio.

Pembunuh yang memakai jaket dan bertopi itu, terlihat jaketnya terbuka dari salah satu pundaknya yang membuat baju dalamnya terlihat. Naka mengambil alih komputer dan memperbesar layar, mencari tahu naju yang di pakai pembunuh itu terasa tak asing baginya.

“Lihat! Itu bukannya, seragam batik sekolah kita!” seru Naka membuat suasana menegang. Mereka semakin terkejut. Apa lagi ini! Kenapa semuanya!
Semua agak terlihat jelas sekarang. Pembunuh itu adalah seorang pemuda! Yang masih bersekolah. Dan, Aerlang bersekolah di sekolah yang sama dengan pembunuh itu!

“Pelakunya masih sekolah di SMA Tritara!”
Apa lagi ini, batin Zaky saat menyaksikan drama dari temannya itu. Sejujurnya dia sedikit tertekan.

Kejadian waktu itu terus menyita pikiran Aerlang. Dia sangat was-was setelah mengetahui fakta itu, sebenarnya dia juga tak ingin mempercayainya, tapi itu sudah cukup bukti, bahwa pembunuh itu masih pernah bersekolah di sekolahnya.

Aerlang kembali mencoret-coret bukunya, yang sudah penuh coretan. Karena, sejak dari tadi, dia terus memikirkan itu sambil mencoreti bukunya.

Tongkat kasti.
Batik Sekolah.
Itu berarti! Anak kasti!

Benar!

“Lang! Main kasti yuk!” ajak Debrio tiba-tiba datang dengan membawa tongkat kasti yang sudah berada di tangannya lengkap dengan bolanya.

Aerlang melirik tongkat kasti itu bergantian dengan Debrio.

“Sejak kapan lo main kasti?” tanya Aerlang.

Mendengar itu Debrio menautkan kedua alisnya, yang benar saja Aerlang! Semua orang di sini juga tahu, Debrio pemain kasti yang hebat. Ada apa dengan satu temannya itu.

“Pake nanya! Udah lama lah bro. Aneh lo, tiba-tiba nanya begituan. Ayok,” ajaknya lagi. Dia melempar bola kasti ke atas, dan menangkapnya. Terus berulang ulang.

“Lo udah main kasti sejak kelas 10?” tanya Aerlang lagi.

Debrio sangat tak mengerti dengan Aerlang, ada apa dengan cowok itu. Dia mengangguk sebagai jawaban.

Aerlang ikut menganggukkan kepalanya sambil kembali bergelut dengan pikirannya. Tak mungkin.

Debrio menatap Aerlang dengan aneh. Debrio sadar cowok itu bersikap sangat aneh hari ini.
Gak mungkin, masih belum pasti, batin Aerlang.

Ya, sejujurnya terdapat sedikit rasa curiga kepada cowok itu. Dia adalah anak kasti di sekolah ini, tapi tunggu, anak kasti pasti bukan hanya dia saja, ‘kan? Dia tak boleh dengan cepat memutuskan hal yang tidak-tidak. Aerlang mengenal Debrio cukup baik, dia cowok yang ramah dan tak begitu memedulikan orang lain, tidak mungkin dia seorang pembunuh bukan. Dia harus memberikan kesempatan, untuk menyelidiki lebih lanjut. Siapa Debrio sebenarnya.

***

vote


Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang