12 Luka

6 5 0
                                    

“Lo ngga nyaman? Kalo ngga nyaman, kita pindah aja,” ucap Debrio kepada Amella. Saat merasa pergerakan aneh dari cewek itu, apa mungkin dia tidak nyaman dengan tatapan dan lirikan semua orang di sana.

Kini Amella dan Debrio sedang makan siang bersama di kantin, sesuai janji Amella. Semua murid di sana terus saja meliriknya, bahkan ada yang sampai rela berlama-lama di kantin hanya untuk melayangkan lirikan maut mereka. Apalagi setelah kejadian tadi. Semua orang sekarang mungkin menganggap Amella benar-benar cewek murahan. Pasalnya, rumor Amella dan Aerlang di apartemen, lalu pernyataan Aerlang tadi pagi, dan sekarang dia sedang bersama Debrio. Sudah dipastikan mereka sedang mencibirnya.

“Ha, ah ngga perlu. Ngga apa-apa kok, udah biasa,” jawab Amella tak enak. Dia meminum es teh di sebelah mangkoknya canggung.

Jujur saja, Amella bukannya sedang memikirkan lirikan mereka. Dia sedang memikirkan bagaimana caranya mendekati seorang Debrio? Iya, dia memutuskan untuk melakukan perintah Noval, dia hanya ingin menjadi anak yang baik, tidak salah, 'kan.

“Gimana keadaan lo? Ngga apa-apa ‘kan? Gue denger lo sama Vanesa berantem.”

“Ha, ooh iya. Ngga apa-apa kok, tenang.”

Debrio bernafas lega. Lalu, menganggukkan kepalanya paham.

“Kak, gue denger, kerja sama perusahaan orang tua kakak sama perusahaan ayah Mella, di batalin?” tanya Amella to the points, jujur saja dia tidak bisa basa-basi dengan cowok ini. Lagi pula, Amella ingin ini cepat berakhir.

“Gue denger juga, iya.”

“Maaf kak, mungkin orang tua kakak malu sama kejadian waktu itu ya. Gue minta maaf ya kak, tolong bilangin orang tua kakak, Mella mau minta maaf atas ketidak nyamanannya. Oh iya, kalo seandainya gue nerima perjodohan itu, apakah kerja sama itu tetap terjadi?”

Debrio termenung sebentar, “Gue ngga tau, tapi kalau lo beneran nerima perjodohan itu. Gue usahain bilang sama mereka,” jawab debrio membuat Amella sedikit lega.

“Emang lo mau?” Debrio menatap Amella. Menunggu jawaban dari cewek itu.

“Ya, mau gimana lagi. BTW, makasih banyak kak,” sahut Amella.

Amella kembali melanjutkan makan siangnya. Dia menoleh ketika merasakan ada seseorang yang juga sedang  melihatnya. Dia Vanesa. Amella juga ikut melayangkan tatapan kepadanya. Mau apa lagi dia? Masih perlu apa lagi?

Seketika alis Amella bertaut, saat melihat jaket yang Vanesa gunakan. Padahal tadi dia tidak memakai jaket itu. Entah kenapa, mata Amella tiba-tiba berkaca-kaca saat melihat jaket itu, seperti terdapat kenangan buruk di sana. Amella menggosok matanya menyadarkannya, mana mungkin.

“Gue duluan ya, thanks traktirannya. Duluan,” pamit Debrio yang membuat fokusnya membuyar dan beralih menatap Debrio. Lalu Debrio berdiri dan melangkah pergi.

Amella melihat punggung Debrio yang mulai menjauh. Lalu, samar-samar dia melihat Naka yang entah sejak kapan berdiri di sana. Amella berdiri berniat mendekati Naka dan menanyakan apa yang sudah terjadi, kenapa dia sangat aneh akhir-akhir ini. Tapi, entah apa yang sedang terjadi kepadanya, dia tiba-tiba menjauh dan menghindari dirinya.

Aneh sungguh aneh.


***


Di Minggu selanjutnya, Amella berjalan pelan seperti biasa, dengan seragam sekolah lengkap tas yang berada dipunggungnya. Ditambah bunga putih di tangannya.

Amella berhenti ketika sampai di depan batu nisan bertuliskan Melati, sang almarhumah ibunya.

Tangannya bergerak menaruh bunga itu di atas gundukan tanah. Lalu beralih menyentuh batu nisan milik almarhumah ibunya itu.

Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang