09 Dendam

8 6 0
                                    

Dengan telaten, Aerlang mengobati luka di tangan, dan kepala Amella satu persatu. Mereka berada di ruangan serba putih di sekolahnya. Kini hanya ada mereka berdua di sana.

Aerlang terus diam dengan memasang wajah datarnya. Tapi menurut Amella, itu adalah ekspresi paling mengerikan yang paling Amella takuti. Bahkan, Amella tak berani membuka suara.

“Dia lagi?” tanya Aerlang baru memulai percakapan.

Amella terus menundukkan kepalanya tidak mampu menatap Aerlang. Tak ada jawaban dari cewek itu.

“Masih ngga mau cerita?” Aerlang berdiri dari duduknya dan menatap Amella yang sedang duduk di atas brankar. Dia menutup matanya tak habis pikir dengan adiknya itu, bagaimana bisa dia memendam masalah itu sendirian tanpa mau bercerita dengannya. Lihat kondisi cewek itu! Setiap harinya dia akan mendapatkan luka baru, tanpa menunggu luka lama sembuh. Bisa dibayangkan bagaimana perasaannya saat terus menerus melihat kondisi adiknya yang terus terluka, dan dirinya yang tak bisa menolongnya.

“Kita ke rumah sakit. Luka di tangan lo itu udah parah banget. Harus cepet ditangani dokter,” ucapnya.

“Ngga perlu.”

Mendengar jawaban dari cewek itu, Aerlang mengusap wajahnya kasar, “Jadi, lo itu sebenarnya mau apa Amella?!” Aerlang terus menatap Amella dengan putus asa. Sebenarnya apa maunya? Kenapa dia terus tinggal di rumah siksaan itu?

Aerlang membuang nafas kasar, juga mengatur nafasnya yang mulai memburu.

“Apa susahnya tinggal di apartemen gue? Masih nunggu apa lagi? Nunggu sampai dia terbunuh di tangan gue sendiri?”

Mendengar itu, seketika mata Amella beralih menatap Aerlang, “Ngga. Bukan itu maksud gue.”

Aerlang memutar bola matanya malas, “Trus apa? Kenapa lo malah pulang ke rumah itu lagi? Gue harus ngelakuin apa lagi sampai lo mau ninggalin rumah itu Amella!” geram Aerlang sambil mengacak-acak rambutnya kesal.

“Maaf ...” lirihnya.

“Gue ngga butuh maaf dari lo. Gue cuma butuh penjelasan.”

Amella sadar mata Aerlang yang mulai sayu. Terdapat rasa menyesal dalam dirinya, tidak lupa rasa bersalah yang sudah menyelimutinya.

“Sebenernya. Saat itu Ayah Noval tiba-tiba baik sama gue, dan dia bilang mau ngajak gue makan malam kemarin malam. Tapi ternyata, itu bukan makan malam biasa. Gue mau di jodohin sama anak pemilik perusahaan yang akan melakukan kerja sama, sama perusahaan Ayah. Katanya, itu buat tanda awal kerja sama dilakukan. Lalu di tengah makan malam gue denger Ayah Noval ngelekin Mama. Gue kesel dan akhirnya gue marah sama dia. Jadi, tadi pagi dia nyiksa gue lagi, sambil ngancem gue seperti biasa,” jelas Amella panjang lebar.

Aerlang terus mendengarkan Amella dengan seksama, dia sedikit terkejut dan marah saat mendengarnya.

“Perjodohan? Bullshit.”

“Lo udah ngelawan dia. Tapi tetep balik ke rumah itu?” tanya Aerlang menyadari ada kejanggalan.

“Ngga, gue juga ngga tau apa yang terjadi selanjutnya kemarin. Gue jalan-jalan lalu ketemu Naka, dan gue pingsan.”

“Naka? Cowok itu? Jadi dia yang udah anter lo ke sana?”

“Mungkin,” jawab Amella belum yakin.

Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang