03 Halte

13 6 0
                                    

Aerlang berjalan di koridor sekolah bersama kedua temannya, mereka berjalan dengan santai.

Tidak luput dari pandangan murid yang dilewatinya, banyak yang menyimpan rasa kepada Aerlang, siapa yang tidak suka dengan anak pintar, berprestasi, tampan pula. Tapi mereka hanya sampai menyukai Aerlang dalam diam, karena banyak sekali saingannya, apalagi Vanesa.

Langkah mereka terhenti ketika ada perempuan tiba-tiba berdiri di depan Aerlang, menghalanginya. Sepertinya dia sengaja.

“Pagi,” sapa Vanesa, tersenyum kepada Aerlang.
Aerlang tidak ingin menghiraukannya, dan malah menatapnya dengan tajam. Tapi, jika mengingat apa yang dia lakukannya kepada adiknya.

“Lo apain Amella?” tanya Aerlang cepat.

Vanesa yang awalnya tidak menyangka Aerlang akan membuka suara kepadanya, jarang sekali mereka mengobrol. Walaupun Vanesa sering mendekatinya, tak jarang juga Aerlang tidak menggubrisnya, berakhir mempermalukan Vanesa.

“Oh, itu kemaren dia nyeselin. Jadi aku kasih pelajaran supaya dia sadar,” jawabnya tanpa rasa bersalah.

“Berhenti ganggu dia, dan berhenti ganggu gue. Stop ngurusin urusan orang lain, Vanesa,” ucap Aerlang penuh penekanan, dia sangat menghormati perasaannya padanya. Namun, Aerlang pikir dia sudah kelewatan batas, jadi dia harus menegurnya dengan baik. “Gue pringatin sekali lagi, jangan nyentuh amella apalagi berani nyakitin dia. Karna kita gak ada hubungan apa pun, jadi jangan ngurusin urusan gue dan amella.”

Pandangan Aerlang beralih kepada seseorang yang lewat disamping-Nya, cewek itu lewat dengan santai tanpa melirik mereka.

Naka menghampiri Amella yang sedang berjalan menuju kelasnya. Dia memberikan senyuman kepadanya, dan berjalan bersama.

Aerlang melihat punggung Amella dan cowok itu, menjauh. Alis nya bertaut. Siapa cowok itu? Kenapa dia terus mengikuti Amella? Apa hubungan mereka berdua. Aerlang melangkah pergi dari sana, meninggalkan Vanesa yang sudah menahan amarah.

Vanesa mengepalkan tangannya kuat-kuat, dia menggertakkan giginya. Melirik tajam murid di sekitarnya yang sedang menyaksikannya.

Amella, awas lo!


***


Amella berlari kecil menuju halte bus. Tangannya terulur mewadahi tetesan air hujan yang lama kelamaan semakin deras. Kepalanya menoleh ke sana-kemari mencari angkutan umum. Namun nihil, tidak ada angkutan umum di sana, bahkan jalanan ini terlihat sepi. Jarang ada kendaraan yang melintas saat ini, mungkin karena hujan deras ini.

Dia melipat tangannya di depan dadanya, saat merasa udara dingin berhasil menusuk tubuhnya.

Namun tiba-tiba sebuah kain hangat mendarat dipunggungnya. Sontak dia menoleh menyadari ada seseorang yang sengaja menaruh jaket itu kepadanya.

“Naka?” tebakan Amella benar, dia Naka.

“Gerah,” ucapnya cepat. Dia mengipaskan telapak tangannya ke wajahnya. “Btw, ini kali pertamanya lo panggil nama gue,” celetuk Naka, diakhiri senyum simpul.

Tak ada sahutan dari Amella, dia menatap Amella yang sedang fokus melihat hujan, “Lo suka hujan?”

Amella melirik Naka sekilas lalu kembali melihat tetesan air hujan yang menari-nari di atas aspal, juga para tanaman hijau yang menikmati masa suburnya bersama hujan. “Hujan itu menenangkan, emang ada orang ngga suka hujan?”

“Mungkin, bukan hujan yang dibenci, tapi kenangannya.”

Amella melirik Naka sekali lagi. Naka yang tadinya menatap Amella kini membuang pandangannya.

Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang