18 Bunga mawar

9 4 0
                                    

Aerlang dan Zaky menatap tak percaya, bangunan serba hitam dengan tulisan ‘Polres’ yang besar di depannya. Zaky berkedip beberapa kali, apa yang mereka lakukan di sini, apa mereka sudah gila. Tidak ada yang melakukan kejahatan. Tapi kenapa Aerlang mengajaknya ke sini?

“Ngapain—“ belum sempat Zaky melanjutkan katanya.

“Ayo masuk,” sela Aerlang cepat. Kemudian berjalan mendekati kantor polisi itu.

Tak ada pilihan lain, dia sudah diajak jauh-jauh kemari. Jadi, dia hanya membuntuti Aerlang dari belakang.

2 jam telah berlalu.

Mereka baru saja terlihat keluar dari sana. Zaky memasang wajah kesal, dan dia juga terlihat lelah.

“Jujur gue malu,” ujar Zaky menatap kosong di depan.

Tujuan Aerlang mengajaknya ke sana adalah untuk mencari tau, apa maksud polisi menutup kasus itu dengan hasil akhir tetap dianggap kasus kecelakaan mobil biasa. Padahal terdapat banyak kejanggalan di sana, Aerlang mengajak Zaky untuk menjadi saksi dan untuk menunjukkan artikel yang di maksud kepada polisi. Namun, polisi malah mengelak dan malah membuat Aerlang emosi. Polisi terlihat terus menghindar dari segala pertanyaan Aerlang, bahkan mereka disuruh menunggu terus menerus olehnya. Mereka terlihat mencurigakan, seolah mereka tahu tapi diam.

Aerlang mengela nafas berat, jika begini akan semakin sulit menemukan fakta. Dia terus memasang wajah kecewa.

“Sorry, bikin lo terlibat. Tapi, thanks bro. Gue bakal butuh bantuan lo lagi,” ucap Aerlang kepada Zaky di sebelahnya tak enak.

Zaky mengalihkan pandangannya, dia mencerna kata-kata Aerlang. Jika, Aerlang kembali meminta bantuan kepadanya, itu berarti dia harus melakukan seperti tadi? Menyaksikan pertengkaran mereka? Ah tidak lagi, dia tidak mengetahui apa pun di sini, lalu kenapa dia harus menyaksikan itu, dia jadi malu sendiri.

Zaky tersenyum kaku, “Oh ya, udah sore. Gue duluan,” pamit Zaky. Kemudian dia berlari menjauh.

Aerlang menatap punggung Zaky yang mulai menjauh, sambil berpikir. Benar, Amella. Dia baru ingat, tadi sepulang sekolah Aerlang pamit kepada Amella untuk pergi sebentar dan meminta Amella menunggunya jika belum kembali sampai jam ekskulnya selesai. Mungkin sekarang Amella sudah meneleponnya berkali-kali.

Dengan tergesa-gesa Dia menaiki sepeda motornya dengan kecepatan tinggi, memikirkan Amella yang mungkin akan marah kepadanya.


***


“Belum pulang juga?” tanya Naka tiba-tiba datang. Dan ikut duduk di sebelah Amella.

Kini hari sudah mulai gelap, Amella belum saja pulang. Dia sedang menunggu Aerlang yang akan menjemputnya, di halte bus dekat sekolahnya seperti biasa.

“Belum, nunggu jemputan,” jawab Amella setelah menatap Naka sekilas.

Naka mengangguk paham. Dia tak bertanya lagi, karena dia pernah melihat Amella dan Aerlang berboncengan saat berangkat sekolah, mungkin maksud jemputannya adalah Aerlang.

Hening. Tak ada yang membuka suara.

Amella sesekali melirik Naka sekilas, dia khawatir dengan keadaan Naka setelah dia mengetahui fakta bahwa Naka mengidap penyakit tumor otak. Walaupun jarang melihat Naka kesakitan seperti orang sakit pada umumnya, Naka malah seperti orang sehat biasa. Dia memang paling pintar dalam menyembunyikan lukanya. Tetap saja, Amella tetap khawatir.

Naka melihat bunga mawar merah yang sedang dipegang Amella di pangkuannya. Seketika bibirnya tertarik ke samping. Dia jadi ingat Alvika, sang almarhumah kakaknya. Alvika dulu sangat menyukai bunga mawar, bahkan di saat yang terakhir pun terdapat bunga mawar merah di TKP.

“Kakak gue juga suka bunga mawar,” ucap Naka beralih menatap lurus ke depan.

Mendengar itu sontak Amella melihat bunga mawar yang ia pegang, “Gue ambil di taman sekolah. Cantik, tapi nggak tau kenapa gue ga suka baunya.”

“Kakak gue meninggal di gudang terbengkalai, dia dibunuh orang gila. Tapi anehnya, di sana masih ada tiga tangkai bunga mawar. Kata polisi, bunga mawar itu udah ada di TKP, dan masih sangat segar saat itu. Sedangkan, polisi menemukan mayat kakak gue dua hari setelahnya. Bahkan, polisi mengetahui itu karena membaca berita di artikel,” terang Naka tak mengalihkan pandangannya, “Gudang terbengkalai di jalan Pancasila,” lanjutnya.

Amella mendengarkan Naka dengan baik, dia merasa tak asing dengan itu, “Jalan Pancasila? Itu tempat kecelakaan yang buat Mama gue meninggal dua tahun lalu, tepat di depan pet shop,” ucap Amella, “Yang gue inget Cuma itu.”

Naka langsung menoleh ke Amella, begitu pun Amella. Mereka kembali bertukar pandangan satu sama lain.

Suasana kembali hening. Mereka seolah memang ditakdirkan untuk bertemu, entah apa pun itu alasannya. Naka tak membenci takdir itu, namun dia hanya tidak suka takdir harus mempertemukan mereka saat dunianya akan segera berakhir.

Suara motor datang membuat tatapan mereka membuyar. Amella mengedipkan matanya berulang, menyadarkannya. Kemudian beralih menatap Aerlang yang sudah berada di depannya menggunakan sepeda motornya.

“Ngapain?” tanya Aerlang. Dia menatap tajam Naka yang berada di sebelah Amella.

“Apa?” Amella melirik Naka sekilas, kemudian mendekat ke Aerlang, “Menurut lo? Lama banget sih!” kesalnya.

“Sorry,” ucap Aerlang.

Telapak tangannya terangkat ke atas saat merasakan tetesan air hujan menyentuh kulitnya, “Hujan! Buruan naik.”

Dengan segera Amella menarik paksa Aerlang agar meneduh di bawah halte, saat merasakan hujan turun semakin deras, “Mana sempet! Sini!”

Melihat hujan dan suara hujan yang semakin lama semakin keras dan memenuhi telinganya. Seketika memori kejadian saat itu berputar kembali di otaknya, bersamaan dengan dengungan di telinganya. Tak mau Amella khawatir, dia menepis tangan Amella yang menyentuh tangannya.

“Gue cari jas hujan,” ucap Aerlang cepat kemudian bersiap pergi menjauh. Namun, belum sempat melangkah menembus hujan, tangannya kembali di cekal oleh Amella.

“Apa masalah lo sama hujan?”

Pertanyaan yang tak terduga dari Amella. Seketika dia terdiam, tak menyangka Amella akan menanyakan itu kepadanya. Dia menepis cekalan Amella.

“Lo pasti bakal sadar perlahan dengan sendirinya. Kenapa ... gue benci hujan.”

Amella menatap Aerlang tak mengerti. Dia mencoba mencerna apa yang barusan dia katakan padanya.

“Ngga jadi hujan tuh. Cuma prank,” sahut Naka.
Amella dan Aerlang sontak melihat suasana, dan benar saja. Hujannya sudah berhenti.

“Mungkin itu barusan ada awan gemuk kelepasan muntahin airnya,” lanjut Naka sembarangan.

Aerlang beralih menatap tajam cowok itu. Melihat itu pun Naka langsung mengalihkan pandangannya.

“Mending lo pergi,” perintah Aerlang dengan nada tegasnya.

“Siap,” ucap Naka. Langsung menuruti apa kata Aerlang. Dan berjalan menjauh dengan cepat.

“Ayo pulang,” ajak Aerlang. Dia berjalan kembali menuju sepeda motornya, dan menaikinya.
“Gue harus pulang ke mana?”

Aerlang menghela nafas berat, “Menurut lo?”

geram Aerlang tak habis pikir, “Lo masih anggep itu rumah?”

Amella berpikir sejenak. Benar juga, apakah dirinya masih menganggap itu rumah baginya? Tempat yang seharusnya menjadi istirahat setelah melakukan kegiatan seharian dan merasakan damai sesaat. Malah membuat Amella merasakan sakit dan penyiksaan, yang jauh dari kata kedamaian. Tapi, tak rela rasanya jika harus pergi meninggalkan rumah dengan seribu kenangan itu, harus dibiarkan di tinggali oleh orang tak bertanggung jawab seperti Noval.

“Pulang sama gue, Amella.”

***

vote

scroll

Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang