13 Senyum pertama

7 6 0
                                    

“Lalu, kenapa lo malah pindah ke Jakarta? Seharusnya lo menikmati hidup dan berobat aja,” ucap Amella kepada Naka yang masih duduk di sampingnya.

Ya, mereka masih dalam lokasi yang sama. Mereka memutuskan untuk menikmati angin sepoi-sepoi di sana, juga menenangkan pikiran mereka sejenak, walaupun hanya sebentar.

Naka tersenyum simpul, kemudian matanya beralih menatap Amella seperti biasa. Naka memang pintar menyembunyikan lukanya. Lihat, 5 menit yang lalu Amella baru saja menenangkan Naka yang terlihat sedih. Namun sekarang, dia terlihat seperti Naka yang dia kenal. Senyum itu, semangatnya, dan matanya. Dia terlihat sedikit lebih sehat.

“Kakak gue tiba-tiba menghilang di jakarta. Dia pergi ke ke sini untuk nikmatin liburannya. Tapi, dia tiba-tiba ngga bisa dihubungi dan menghilang. Gue dan ibu gue ke Jakarta untuk cari kakak. Tapi tiba-tiba ibu gue drop dan harus dirawat dirumah sakit. Dan bahkan sampai sekarang beliau masih ngga tau kalau kakak gue udah ngga ada,” terang Naka.

“Kakak lo ...”

“Iya, gue juga ngga tau penyebab kematiannya yang sebenarnya. Saat gue sampai di sini dan cari dia di kantor polisi, katanya mereka nemuin kakak gue udah ngga ada di suatu tempat. Mereka bilang itu adalah kasus pembunuhan.

Amella mendengarkan cerita Naka dengan baik. Dia sangat tertegun atas ketabahan Naka.

“Dan lo tau Amella, hidup gue bakal lebih ancur lagi ketika gue kehilangan semuanya. Hanya ibu yang gue punya sekarang, dan lo.”

“Gue juga baru tau kalau ternyata gue punya penyakit bangsat itu.”

Amella termenung beberapa saat lalu tersadar. Ternyata Naka lebih banyak bicara saat ini.
Naka beralih menatap Amella, “Ngga perlu ngasihani gue, gue cerita bukan untuk dikasihani. Tapi, karena gue cuma ngga suka pergi tanpa berpamitan.”

“Gue udah selesai cerita, sekarang giliran lo,” ucap Naka.

Amella yang sedang fokus mendengarkan cerita Naka pun tersentak kaget. “Ha? Cerita? Buat apa? Perlu banget gue cerita?” tanya Amella kebingungan.

“Terserah lo, gue ngga terlalu maksa kalau lo ngga mau cerita.”

Mendengar itu dia jadi tidak enak. Lagi pula, tidak ada salahnya, ‘kan untuk bercerita? Terkadang dia juga butuh teman.

“2 tahun yang lalu gue dan Mama gue mengalami kecelakaan. Beliau meninggal di sana. Tapi, menurut gue, ada yang ngga beres saat itu. Kecelakaan mobil itu tidak separah yang dipikirkan, sampai mama gue meninggal di sana. Bahkan mobil yang gue tumpangi masih utuh tak tergores. Minim saksi dan bukti saat itu, juga gue yang ngga ingat apa pun malah nambahin masalah.  Banyak banget kejanggalan di sana—“ jedanya.

Dia menelan ludahnya, berusaha melanjutkan ceritanya tanpa melibatkan perasaan.

“Gue yakin, kalau gue ingat. Semua kejanggalan itu pasti masuk akal. Gue yakin, semua bisa terselesaikan jika gue bener-bener inget semua kejadian yang terjadi saat itu. Gue harap gue cepet ingat, supaya gue sedikit lebih tenang,” lanjutnya.

“Perlu bantuan?” tawar Naka yang membuat Amella terkekeh.

Naka sedikit terkejut saat pertama kali melihat Amella tersenyum, walau hanya sedetik.

“Emang bisa bantu gimana?”

“Em, gue bakal coba bikin lo ingat. Tapi, gue juga ngga tau gimana,” ucap Naka diakhiri kekehan olehnya. “Oh, gimana kalau gue bantu cari pembunuh itu?”

“Pembunuh? Jika kematian mama bukan kecelakaan, melainkan memang benar pembunuhan. Gue bener-bener ngga bisa maafin pembunuh itu. Karna, dia yang udah ambil Mama, juga ambil Ayah. Dan sekarang, semua berantakan.”

Bohong jika Amella tidak berbicara tanpa melibatkan perasaannya. Sungguh, di lubuk hatinya yang paling dalam, dia benar-benar benci dirinya yang tidak ingat kejadian itu. Ini semua karenanya. Andai saja dia mengingatnya, mungkin pembunuh atau kecelakaan itu tidak akan menghantuinya terus menerus.

Naka terlihat terdiam setelah mendengar cerita dari Amella. Dia berpikir, apa bisa dia membantunya? Dengan kondisi yang seperti ini? Pasalnya, sejak Naka melihat Amella. Setiap pertemuan mereka, entah mengapa terdapat keinginan yang kuat untuk melindungi cewek itu.

Dia bahkan sampai tidak ingat luka yang ia punya.

“Gimana sama suami lo itu?” tanya Naka spontan.

Bahkan, dia juga tidak tau akan menanyakan hal itu juga kepada Amella. Memang benar, pertanyaan itu terus Naka pikirkan sejak kemarin dia mendengarnya. Namun, tidak terpikirkan olehnya akan benar-benar menanyakan hal itu langsung kepadanya. Sungguh memalukan.

Mendengar itu Amella yang tadinya termenung langsung terbuyar, dan tertawa lepas. Jadi, cowok ini benar mempercayai apa yang Aerlang katakan? Sangat konyol, Aerlang memang sudah gila.

“Lo percaya?” tanya Amella di tengah-tengah tawanya, “Maksud gue, lo percaya sama omongan gila bang Aerlang?” dia menutup mulutnya terus tertawa.

“Bang?” Naka terheran, dan bingung. Dia masih mencoba mencerna kata-katanya, “Jangan bilang!” serunya baru sadar.

“Gue adiknya bang Aerlang.”

Ternyata benar! Semuanya jadi masuk akal sekarang. Naka bukannya percaya dengan kata-kata Aerlang. Hanya saja, dia tidak tau kebenarannya, 'kan.

Naka menggaruk tengkuk kepalanya tak gatal. Dia melihat pemandangan yang benar-benar dia inginkan sejak lama. Melihat Amella tersenyum.

Sangat cantik. Keinginan untuk selalu membuatnya bahagia terus semakin membesar memenuhi hatinya.

Cantik, senyum lo bener-bener cantik, La, Batin Naka.

Merasa tak ada pergerakan dari Naka, dia menyudahi tertawanya. Lalu melirik Naka yang juga sedang menatapnya. Kenapa dia menatapnya seperti itu, apakah dia tidak suka ditertawakan. Sepertinya dia telah melakukan kesalahan, dasar Amella.

“Jangan banyak tersenyum, La. Bisa gila mereka, Karna liat senyum lo. Cukup gue aja yang gila.”
Amella menaikkan kedua alisnya bingung.

Terkadang sifat Naka langsung bisa berubah-ubah.   Dia jadi bingung, dan harus termenung untuk memikirkan arti sebenarnya dari ucapannya barusan.

Ini memang karena Amella yang kurang peka, atau Naka yang sudah gila?

“Udah, yuk pergi. Liat sekarang jam berapa?”

Mendengar itu Amella melihat ponselnya dan terkejut kala mendapati jam yang sudah menunjukkan pukul 9 WIB. Sudah benar-benar sangat terlambat untuk pergi ke sekolah, bisa-bisa mereka akan mendapat skor banyak kali ini. Apa lagi mereka berdua terlambat bersamaan. Sudah tidak bisa terpikirkan olehnya, jenis hukuman macam apa lagi yang akan dia dapatkan.

“Lo yakin, masih mau sekolah jam segini?” tanya Naka ragu.

Jujur, tidak masalah jika dia harus menerima hukuman. Hukuman apa pun akan dia kerjakan, asal bersama Amella. Walau penyakitan, Naka tetap manusia. Yang bisa merasakan jatuh cinta, bukan begitu?

“Ya kali, harus bolos.”

Naka mengangguk paham, “Naik motor gue aja, bentar.” Naka berlari menuju motornya dan bergegas menuju sekolah bersama Amella.

“Ka! Bisa agak cepet ngga!” seru Amella di perjalanan sedikit berteriak, agar Naka mendengarnya. Pasalnya, dia mengendarai sepeda motornya pelan, seperti sedang membawa tuan putri. Boleh saja pelan, tapi tidak saat ini juga.

Naka menarik gasnya sedikit lebih kuat. Lalu, kembali terus melihat Amella dari kaca spionnya. Dia masih sangat senang, setelah mendapatkan senyum pertama Amella. Terdapat ambisi untuk terus membuatnya bahagia.

Dia terlalu senang, sampai lupa. Dirinya juga butuh kebahagiaan. Namun, kebahagiaan yang dia dapatkan hari ini adalah bertemu dengan Amella.

***

Vote

comment

scroll

Jiwa yang Terluka {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang