Aku tidak pernah bisa bangun di pagi Senin tanpa beberapa jam tambahan tidur, tapi akhirnya aku berhasil menyeret diri kesini. Berada di depan pintu kamar juri tamu X-Factor minggu depan, menunggu jawaban dari ketukan pintu. Aku menguap, segera menutupinya dengan tangan. Sepertinya setiap Senin, aku memang ditakdirkan tidak bisa meninggalkan kehangatan pagi hari. Jadi, sweater tebal dan celana jins akan membuat suasana nyaman sepanjang hari ini.
Pintu terbuka, aku mendongak. Disana ada Calum yang setengah sadar; hanya memakai boxer, rambut acak-acakan dalam posisi bangun tidur, dan dada yang dihiasi beberapa tattoo. Aku merasakan rambatan sesuatu yang hangat naik ke pipi.
"Siapa?" Suaranya serak; khas bangun tidur. Dia menggosok mata, menyipit.Aku menelan sesuatu yang berat, berdehem menormalkan suara. "Aku Ocean. Dari X-Factor."
Calum segera menyingkir dari pintu, menarik tanganku agar masuk kedalam. "Mereka memberitahukannya lebih awal?" Katanya sambil menutup pintu, memperhatikan setiap gerak-gerikku.
"Kurasa mereka.. membuatku berlatih dengan kalian sebelum minggu depan." Aku menatap kaki, jelas terlalu pagi untuk disuguhi dada lelaki telanjang dan matanya yang mengintimidasi. Syukurlah akhirnya dia menemukan baju abu-abu yang tergeletak di karpet dan memakainya.
Aku melepas sneakers dan duduk di sofa, menatap cowok yang melemparkan tubuh kesebelahku ini. "Aku ingin berlatih dengan kalian sebelum minggu depan." Aku mengumumkan. Mencoba tidak terdengar histeris ketika aroma tubuhnya --yang campuran musk lembut dan softener harum-- merayap memasuki indra penciumanku. Baunya seperti cucian yang beberapa hari keluar dari laundry, bau kesukaanku sepanjang masa.
"Apa kata mereka?" Calum menggeram malas, bergerak lebih nyaman ke sisi yang lain. Menemukan bantal dan mengistirahatkan kepalanya disana; yang bagiku tampak seperti rencana tidur lagi.
"Latihan perut." Aku menjawab.
Dia mencibir. "Sit-up saja." Balasnya cuek, mulai menutup mata.
"Lari pagi bagus." Aku cepat-cepat menambahkan, tak menyangka jawabannya akan secuek itu. "Kata Adam."
Dia mendengus, mulai menurunkan kaki, mendorongku pergi agar dia bisa meluruskan mereka. Kesal, aku berdiri dan duduk di kursi bar untuk meja makan kecil. Calum meluruskan kaki lega, kemudian mengintip, menatapku yang menaikkan alis dan bersedekap. Aku jelas-jelas tidak disini untuk menontonnya tidur. Mana teman-temannya?
"Yang lain pergi, mencari sarapan. Kau sudah dapat guru?" Cowok berambut dyed blonde itu berkata, seolah dirinya adalah seorang pembaca pikiran. Oke, aku harus ngomong. Rambutnya menjijikkan, aku tidak terlalu senang rambut pirang palsu diatas rambut gelap (terutama ketika mereka berakhir kelihatan seperti sampah di atas kepalamu). Syukurlah sekarang warna pirangnya sudah agak pudar.
"Yeah." Aku menyipitkan mata, mengibarkan bendera peperangan. Bukan salahku jika Simon tidak terlalu suka para juri tamu, ada brengsek besar di antara mereka. "Pete Wentz, kalau kau tahu."
"Kau bercanda." Calum mendengus dalam artian 'psh, serius?' dan memunggungiku. Kemungkinan besar menutup mata lagi.
Terserah, aku memutar mata. Mengeluarkan ponsel dan memutuskan face time dengan Pete, cuma untuk memastikannya melatihku.
"Hi Dear!" Dia tersenyum lebar ketika kami sudah tersambung. Gambarnya agak tidak jelas dan terputus-putus. Tapi suaranya otomatis membuatku terasa lebih baik. "Sudah berpikir aku akan mengajarimu?"
"Hi there! Hei, Patrick!" Aku melambai.
"Hai babe! Gimana kabarmu?" Patrick menyengir dari belakang bahu Pete, menempatkan dirinya di sebelah cowok berambut pirang itu. Gambar mereka sempat pecah sedikit, kemudian akhirnya kembali lebih normal. Kurasa sinyalnya menjadi lebih ramah.

YOU ARE READING
Magic \\ Calum Hood
Fanfiction"Kau percaya sesuatu tentang sihir, Ocean?" "Tidak." Ocean menggeleng, menjauhkan perhatian dari bukunya. "Memang kenapa?" Alice menyeringai, mengeratkan tangan Calum di sekitar pinggangnya. "Dia seperti sihir bagiku; Calum Hood." __ © Stupidnyan...