07

94 1 0
                                    

Aku bernafas, menatap ke jalanan yang mulai ramai dipenuhi paparazi. Aku tidak pernah suka mereka. Penguntit, seperti kelainan jiwa. Haus berita. Biang gosip.

Behati menyusupkan tangannya dari bawah tanganku dan meremasnya. Aku tidak menoleh, meskipun meremas tangannya kembali. Diam-diam berterimakasih. Kelebatan kelompok yang kami lewati terlalu menarik untuk dilewatkan dari jendela mobil. Mereka kelihatan seperti gagak, persis dengan ingatanku ketika kemarin Joe menggendong pulang. Mata mereka, awas dan jahat, mengikuti setiap gerak dan setiap nafas. Mengintimidasi.

"Ocean," Behati menunduk, tersenyum. Aku menatapnya, menemukan dia menjulang disebelahku dengan posisi agak menunduk. "Ayo, sayang. Sudah waktunya turun."

Mengangguk pelan, kuputuskan untuk turun duluan. Mungkin ide yang buruk, karena aku segera dibutakan flash kamera. Behati turun, menahan punggungku dengan tangannya; membantu menerobos kerumunan. Wartawan dan reporter tanpa ijin masuk membuat laut kerumunan di sekitar kami. Aku menunduk, dilindungi beberapa body guard, berusaha mencapai pintu masuk. Para pengumpul informasi berteriak. Bersahutan disini dan sana, berusaha menggapaiku.
Lensa-lensa kamera berputar, mikrofon disorongkan.

"Ocean, tolong lihat kesini sebentar!"
"Ocean, bagaimana pendapatmu tentang kekalahan Baron?!"
"Ocean, bagaimana rasanya menjadi seorang pemenang?!"

Behati mendorongku sedikit lebih keras, dan dalam sekejap lantai dibawah heels-ku berubah menjadi karpet merah pucat. Ketika mendongak, seluruh ruangan ditutupi bunga-bunga putih cantik.
Dekorasi after party-nya membuatku ingin pingsan; Simon menghiasi pintu masuk dengan bunga biru keunguan yang menjuntai cantik.

Tapi sudah itu saja.
Di sisi dalam, semuanya tertutupi bunga putih. Gelang bunga yang dipakai para tamu --yeah, tebaklah-- juga bewarna peach. Menjadikanku perhatian utama sejak tidak ada yang memakai gaun peach lagi.

Ada panggung di sisi lain ruangan dengan beberapa alat musik diatasnya, membuatku bertanya-tanya siapa yang akan tampil.

Adam datang menghampiri. Ditangannya ada jus merah muda bening aneh dan bunga menyedihkan mengambang di permukaan. Lengan cowok ini otomatis melilit di pinggang Bee, mengecup pipi istrinya. Behati tersenyum. "Hai, cewek-cewekku. Ocean, baju yang cantik." Dia mengangguk, memaksudkan bajuku.

"Terimakasih, Pemasok Permen. That's very nice of you." Aku membalas, pura-pura terkejut. "'Sup."

"'Sup bukan kosakata, Sea. Belajarlah untuk menghargai pemasok permenmu."

 "Oh diamlah." Aku tertawa.

 Adam nyengir. "Selamat ya, omong-omong. Aku selalu tahu kau bisa."

"Terimakasih." Aku maju untuk memeluknya. Adam menunduk --tidak melepas lengannya dari Bee-- dan memeluk sisiku.

"Sayang, apa itu lemonade?" Behati memperhatikan minuman suaminya, mengernyit sedikit ketika Adam menjulurkan jari untuk mengambil bunga di minumannya.
Aku tertawa.

"Oh, Ah- bukan." Lalu lelaki ini jatuh ke gumpalan tawa. "Simon memang pandai. Ini chamomile whisky. Kita beruntung cuma Ocean dan that 5 Second of Summer dudes yang tidak boleh meminum alkohol."

"Diam." Aku memutar mata, membuat Behati tersenyum geli.

"Kau tahu, aku akan mengambilnya." Si cewek pirang berbicara. Aku menatapnya, menaikkan alis. "Alkohol."

Oh. "Sana pergi." Adam membuat gerakan meminum dari dot bayi lalu menunjukku. Aku melotot, tertawa. "Pergi!"

Mereka berdua pergi sambil tertawa. Aku ditinggal sendiri.
Selain Adam, kutemukan Pharell dan Christina sedang bercakap-cakap. Masing-masing memegang gelas champagne yang bibirnya ditutupi semacam sprinkles (benar, sprinkles peach pastel). Mereka berdua melihatku, melambai. Christina menyentuh gaun pendeknya, lalu membuat gerakan 'kau kelihatan oke' versi drama komedi 80'an.

Magic \\ Calum HoodWhere stories live. Discover now