04

181 8 21
                                    

Lampu sorot menyinariku. Aku menutup mata, mendongak. Merasakan hangatnya lampu yang merambat menghangatkan tubuh. Seminggu penuh untuk berlatih bersama Patrick dan The Boys sudah lewat, dimana kami membuat daftar tentang ini-itu, membuat konsep penampilan yang beda dari biasanya. Aku mendesah pelan-pelan, menjaga agar suara tidak masuk kedalam mikrofon didepan mulut.

"Du du du-du, du du du-du

Du du du-du, du du du-du
Du du..."

Mereka setuju bahwa pada awal, akapela akan bagus. Aku membuka mata, menatap pada kegelapan studio. Para kru menyalakan lampu sorot untuk panggung dan meredupkan bagian penonton.

Ingatanku berkelana ke menit terakhir sebelum aku berdiri disini. Adam yang membuat dirinya datang ke belakang panggung, diikuti Christina. Dia memberi selamat dan mengatakan bahwa aku akan memenangkan X Factor. Christina bahkan nyaris menangis ketika mengecup pipiku, mengatakan betapa bangganya dia melihatku sampai sekarang. Disini, panggung terakhir X Factor. Aku tertawa berterimakasih, memberikannya sebuah pelukan yang panjang dan hangat.

Baron Knightwalker adalah rivalku untuk penampilan final ini, tapi keadaan sama sekali tak menjadi masalah besar. Kami tetap pasangan sahabat yang kompak, aneh, dan saling mengerti satu sama lain. Dia selalu ada untukku --seperti seorang kakak lelaki yang protektif. Aku senang pada Baron, kecuali beberapa saat ketika cowok berkacamata itu memaksakan sesuatu yang diinginkannya. Ada juga saat dimana ia mengingatkanku pada Mum. Ketika kami akan bersantai di sofa apartemennya, mendengarkan lagu Beyoncé dari laptop, berbicara tentang segalanya. Ingatan dimana Mum masih akan membelaiku ketika aku ketakutan, berada di sisiku terus-menerus, seperti terulang. Mum yang dulu, bukan yang akan bersikap seolah akan melempariku dengan sesuatu ketika aku tidak bisa bangun lebih pagi.

"Some legends are told
Some turn to dust or to gold
But you will remember me
Remember me for centuries
And just one mistake
Is all it will take
We'll go down in history
Remember me for centuries"

Setelah akapela bait barusan, dalam waktu cepat, ritme berubah. Aku mulai mengingat saat-saat ketika semua orang berbalik dan menyerang. Mengeluarkan semua amarahku, menjadikannya sinkron dengan nada nyanyian Centuries.

"He-e-e-ey ya, oh he-e-e-ey
He-e-e-ey ya
Remember me for centuries"

Aku meloncat ketika ada semburan api dibelakang panggung --keseluruhan stage seketika terang. Patrick disoroti lampu lain yang redup, tapi cukup untuk perhatian. Pete dan Joe ikut disorot ketika mereka menemaniku menyanyi (agak sulit membedakan menyanyi dan berteriak disini). Dan, yang paling membuatku terkesan, Andy kelihatan cool dibelakang sana dengan drum set-nya. Dia pakai baju, setelah berdebat lama denganku. Aku bersyukur dia mau, meskipun hanya muscle tee robek-robek.

"Mummified my teenage dreams

No, it's nothing wrong with me
The kids are all wrong
The story's all off
Heavy metal broke my" Aku merasa buruk, tapi akhirnya aku benar-benar memukul jantungku. "--heart!"

Kami bergerak mendekat, aku mengambil nada yang tepat dari gitar listrikku. Jelas tidak mau dicap cewek-yang-hanya-tahu-cara-berdandan-ala-rocker. Seminggu penuh, aku melatih diriku sendiri. Hasilnya tidak buruk. Lagipula, aku memang sudah suka pada musik rock sejak empat belas.

"Come on, come on and let me in

The bruises on your thighs like my fingerprints
And this is supposed to match
The darkness that you felt
I never meant for you to fix yourself"

Magic \\ Calum HoodWhere stories live. Discover now