Dax membuka pintu.
Tentu saja dia punya pandangan seperti itu di wajahnya. Aku kelihatan sedih dan Calum adalah kopian dari wajahku. Juga, tentu saja, Reese's yang kupeluk, lidahnya terjulur.
"Ocean..?"
"Aku cuma mengantarkannya." Cal berkata. Tangannya mendorongku dengan lembut ke pelukan Dax. "Dia ingin kesini."
"Oke.." Kakakku menaikkan alis sementara aku mengubur wajah di kausnya yang lembut dan berbau familiar. Dax menekan bagian kecil di punggungku sebagai respons. "Terimakasih, Calum."
Aku mengintip dari tempatku bersembunyi di lengan Dax. Calum menatapku dengan sedih.
"Sama-sama." kata cowok berambut hitam itu dengan berat hati.
Aku tidak ingin dia pergi. Bahkan setelah dia mengatakan hal itu.
Lengannya terjulur dan aku tidak berkedip ketika dia mengusap pipiku. "Aku akan ketemu kamu besok?"
Aku mengangguk, menyetujui. Suaraku adalah deritan lemari kayu lama. "Besok."
Lalu cowok ini menggangguk pada Dax. Membalikkan badan dan melangkah pergi. Kutatap punggungnya ketika melewati lorong, nyaris mengira dia berbalik. Dax mengeratkan tangannya di pinggulku ketika menutup pintu. Tepat sebelum kukira melihat wajah Calum yang tanpa daya.
"Apa itu barusan?" Dia bertanya. Nadanya sama sekali tidak marah, hanya menuntut untuk tahu. Seperti kakak yang protektif. Tepat seperti yang kuingat dari sikapnya padaku.
Tatapannya turun ke anjing cokelat yang kugendong. "Dan siapa dia?""Ini Reese's. Anjing Zero."
Kuturunkan anjing itu. Yang otomatis berkeliling dan mengendus-endus. Kuselipkan jemari di saku belakang jins. "Um.. soal yang tadi.. aku agak tidak mau menjelaskannya.""Kau selalu bisa menjelaskannya." Dax mendesah seraya mengaitkan tangan dibalik pinggang. Seperti yang selalu dilakukannya.
Dia membuatku merasa pulang ke tempat yang benar, membuatku ingin menangis. Kukaitkan lengan di belakang lehernya, memendamkan wajah di dadanya yang bidang.
"Ada apa?" Gumamnya dirambutku. Tangannya mengelus punggung.Aku tetap bersembunyi di dadanya. Dan meskipun tidak yakin dia mendengar, tetap kukatakan hal itu. "Dia tahu soal Finn, ya kan?"
Aku merasakan ototnya mengencang dibawah tanganku.
"Benar. Dia tahu. Apa dia membicarakannya denganmu?""Yeah." Aku menghirup kolonye Dax yang bercampur dengan aroma detergen. Merasa apapun alasan dibalik dia memberi tahu Calum bukan sesuatu yang bodoh. Karena aku percaya Dax bukan orang yang seperti itu. "Apa aku perlu membicarakannya lebih lanjut?"
"Tidak perlu." Dia menggosok pundakku ketika melepaskan pelukan. Mengerti dengan caranya sendiri. "Kau mau mandi dulu sebelum tidur? Sekarang sudah nyaris pukul delapan."
Aku mengangguk. Meninggalkannya untuk pergi ke kamar mandi.
Apartemen Dax adalah sesuatu yang sangat minimalis. Sayangnya dia tidak terlalu tertarik merawat barang-barangnya. Ada beberapa baju terbuang di lantai, boks pizza diatas meja makan, beberapa poster artis kesukaannya di ruang tamu. Dan tentu saja, toilet Filla di pojok. Anjingnya sendiri sedang menatap Reese's yang membaui rak vynil.
Tempat ini nyaris terasa seperti apartemen Baron yang selalu memutarkan lagu. Seolah lagu adalah satu-satunya yang bisa membuat hidup dan bernafas.
![](https://img.wattpad.com/cover/43285190-288-k854087.jpg)
YOU ARE READING
Magic \\ Calum Hood
Fanfiction"Kau percaya sesuatu tentang sihir, Ocean?" "Tidak." Ocean menggeleng, menjauhkan perhatian dari bukunya. "Memang kenapa?" Alice menyeringai, mengeratkan tangan Calum di sekitar pinggangnya. "Dia seperti sihir bagiku; Calum Hood." __ © Stupidnyan...