Luke melepaskan geraman rendah ketika merengangkan tangannya. "Rapat membuatku sangat lapar." Dia berbicara.
Rapat kami berlangsung selama tiga jam, dan kurasa aman untuk bilang bahwa rapatnya adalah sebuah penghabisan energi. Aku sedang menahan punggung ke sofa, menyesap sisa kopi dan berusaha mengumpulkan kemauan untuk bangkit lagi, karena masih ada rapat lain yang menunggu setelah ini. Aku juga masih punya janji interview dengan manager baruku nanti malam.
"Setuju." Michael mengangguk, menghempaskan badan ke sofa sehingga dia dalam posisi tidur. Mengerang keras seraya memegangi perutnya. "Aku gak bisa rapat lagi kalau belum makan."
"Hal bagusnya, rapat sudah selesai, kan?" Ashton membalas, memijat keningnya. Dia kelihatan akan meledak jika berada di ruangan ini lebih lama lagi. "Kalian mau makan siang di luar?"
"Hell yes." Michael langsung bangkit, kelihatan seperti terbang dari tempat duduknya ketika Ashton menawarkan begitu.
Luke mengikuti mereka yang sudah beragumen tentang restoran terdekat. Cowok berambut pirang itu kembali untuk menatapku dan Calum, memastikan. "Calum, Ocean, kalian ikut?"
"Kalian duluan saja. Aku perlu ngobrol dengan Simon." Aku menggenggam ponsel. Memutuskan untuk menunggu Simon yang sedang ijin ke toilet.
Luke menggumamkan 'oke' ketika Cal mengisyaratkan bahwa dia akan segera menyusul. Cowok berambut hitam itu lalu menatapku setelah Luke hilang dari pandangan. "Kamu nggak lapar?"
"Nggak terlalu." Aku tersenyum sedikit ketika menjawabnya. "Hei, boleh aku minta sesuatu?"
"Tentu saja." Dia menyelipkan ponsel ke saku belakang. "Kenapa?"
"Boleh pinjam jaket?"
Dia menggaruk tengkuk. "Aku lagi gak bawa. Kenapa? Kamu dingin lagi?"
Aku mengangguk. Agak merasa malu telah meminta jaket padanya. Padahal aku tahu Calum bukan tipe cowok yang rela berpanas-panasan memakai jaket di cuaca Los Angeles yang terik. Tentunya begitu, karena dia bukan aku yang tidak sadar telah memakai hoodie sebelum keluar ke cuaca 30 derajat celcius. Lagipula hari ini dia sama sekali tidak memakai jaket.
Calum mengulurkan tangan untuk merangkum pipiku, yang ironisnya, dingin. Aku menatap langsung kepada pandangan yang sama yang kulihat di wajahnya kapan hari.
Aku mengernyit, merasa pasti tidak akan bisa mengartikan pandangannya."Apa pendingin ruangannya harus dimatikan?" Suaranya penuh dengan kekhawatiran, membuatku heran.
"Tidak usah." Aku menjawab. Menunduk menatap ponsel ketika ada pesan masuk dari Dad. "I'll be fine."
Calum menarik tangannya ketika aku mengecek balasan 'kamu bisa datang kapan saja' dari Dad. Tidak lupa dengan kecupan dua-kalinya. Aku baru saja akan membalas ketika ada yang disampirkan di bahuku. Calum meletakkan flannel di pundakku. "Pakai dulu." Katanya, memaksudkan bajunya. Dia memakai kaus robek-robeknya yang biasa, bertuliskan Rolling Stones.
"Aku merasa terlalu banyak mencuri bajumu." Aku mengaku, memasukkan tangan ke bagian lengannya.
"Well, kamu kelihatan bagus pakai bajuku." Dia tersenyum lagi, dengan lembut menggosok pipiku dengan ibu jarinya. Kehangatan dari tangannya membuatku terlena. "Kau mau kuambilkan sesuatu dibawah?"
"Tidak." Aku berdehem, meyakinkannya. "Kamu sudah membelikan aku jus dan pretzels"
"Baiklah." Dia bangun, matanya masih mengikuti gerak-gerikku. "Kamu pulang jam berapa? Mau aku antar?"
"Tidak usah. Aku nanti dijemput Bee." Aku menyelipkan rambut dibalik telinga, menawarkan senyum sedikit untuknya. Tentu saja itu bohong, namun Calum tidak perlu tahu itu. Lagipula, aku belum berbicara dengan Bee lagi sejak dia meneleponku waktu itu.

YOU ARE READING
Magic \\ Calum Hood
Fanfiction"Kau percaya sesuatu tentang sihir, Ocean?" "Tidak." Ocean menggeleng, menjauhkan perhatian dari bukunya. "Memang kenapa?" Alice menyeringai, mengeratkan tangan Calum di sekitar pinggangnya. "Dia seperti sihir bagiku; Calum Hood." __ © Stupidnyan...