09

36 2 0
                                    

 Ketika keluar, aku tidak melihat Cal. Sebagai gantinya kutemukan Dad di dekat meja pasta; sedang mengambil sesendok sup makaroni keju. Kugenggam sisi tuksedonya, mencari kehangatan. Dad sama sekali tidak menoleh. Tetapi tersenyum, membuka lengan untuk memelukku. "Sayangnya daddy." Katanya seraya mengecup puncak kepalaku. Dad berbau seperti sesuatu yang sama, namun asing sejak insiden wanita-bandara. Dia tetap hangat dan hati-hati seperti yang selalu kuingat. Aku tahu Dad bukan lagi yang pantas disebut 'rumah', tapi aku bersyukur setidaknya aku punya Dad.

 Ingatan masa kecilku tentangnya selalu berbau seperti sedikit dari matahari dan aftershave bersih. Dad yang bermain di taman bersama anjing-anjing kami, memangku jika aku tidak mau tidur siang; yang mengoleskan selai cokelat kesukaanku di roti mentega Mum untuk makan malam, menemaniku bermain piano dan biola.

 Ponsel Dad berbunyi.

 "Angkat saja." Aku melirik sakunya, tahu bahwa Dad akan berusaha menundanya selama mungkin. "Jika kau punya pekerjaan lain, tinggalkan saja pesta ini." Dad menatapku tidak setuju. Kupotong sebelum dia bilang apa-apa. "Benar, kok. Bagiku Dad menyempatkan datang seperti ini sudah lebih dari segalanya."

Dad menatapku lebih lama daripada seharusnya dia sebelum mendesah, mengangkat teleponnya. "Apalagi, Martha?" Adalah yang pertama kali diucapkan. Aku menahan wajah dekat dengan tuksedo, memerlukan beberapa lama lagi untuk tangannya mengusap belakang kepalaku. Menikmati saat-saat kami yang jarang terjadi. Kudengar Dad akhirnya setuju untuk menghadiri janji dengan salah satu perancang Eropa segera.

 "Pergilah." Aku bergumam, menjauhkan diri untuk menatap matanya langsung. "Kapan-kapan mainlah ke apartemen, ya?"

 "Tentu saja." Dia mendesah seraya mengecup ubun-ubun. "Aku akan kangen kamu, Malaikat Kecil."

 "Aku kangen Dad." Aku melepaskan pelukan. "Tapi sekarang kau punya hal-hal yang harus diselesaikan. Pergilah."

 "Aku sayang kamu, Ocean Sayang." Dad melepaskan diri, tersenyum dan berjalan keluar.

 Untuk beberapa saat aku hanya berdiri disitu. Bertanya kenapa hari ini orang-orang meninggalkanku setelah berkata mereka menyayangiku. Apakah ini salah satu alasan kenapa kadang aku menginginkan pelukan yang hangat dan aman? Merasa kesepian meskipun dicintai?

 Aku merasa namaku dipanggil. Benar saja; Alex menatap dari panggung, berkedip. "Kau mau menyanyikan sesuatu?"

 Aku berkedip, lalu mengangguk dan maju ke arah cahaya.

Alex nyengir, berdiri dari tempatnya dan mempersilahkanku duduk. Dia membuat tamu untuk bersorak menyemangati. Jujur, kuhargai caranya membuatku semangat. Dia pasti sudah melihat depresi yang menggantung di pundakku seperti bayangan jelek. Aku tersenyum sedikit, memeluknya sebelum duduk.

 "Hai Alex." Aku tersenyum kecil. Dia tersenyum balik, menggumamkan kata-kata seperti 'hei'. "Bisakah kau memainkan The Words dari Christina Perri?"

 "Tentu saja, Ce." Alex mengerti yang harus dilakukan. Cowok itu segera berdiri dibelakang keyboard yang tiba-tiba ada. Aku menggumamkan terimakasih cepat untuknya sebelum menatap tamu yang datang.

 "Untuk Christina Perri. Terimakasih sudah pernah mengajari kontestan X Factor saat itu. Aku cinta gaunmu hari ini." Aku berdehem. Tersenyum ketika menemukannya nyengir dengan gaun putih menakjubkan-- di sudut ruangan dekat dengan Adam dan Pharrel. "The Words."

Magic \\ Calum HoodWhere stories live. Discover now