10

31 1 0
                                    

Aku terjaga karena mendengar pintu depan yang diketuk terus-terusan.

Ingatan soal kemarin masih jelas di ingatanku ; Eric mengantar pulang Candice, Dax berjanji untuk membelikan es krim suatu hari, dan Dad yang berusaha untuk tidak selalu mengecek ponsel sepanjang pesta (aku berhasil meyakinkannya bahwa itu tidak apa-apa untuk pulang duluan).
Tidak kulihat Calum sepanjang hari setelah kami bicara, tapi kurasa itu tidak terlalu membuatku terpengaruh. Aku tetap menjalani malam terbaik bersama sahabat dan teman-temanku.

Ketukan di pintu depan itu berirama. Bagiku kedengaran seperti seseorang mengetuk pintu depan dengan ritme Centuries. Aku memaksa diri untuk bangun dan menyebrangi ruang tamu, membuka pintu depan. Andy ada didepanku bersama yang lain, nyengir ketika pintu terbuka.

"Ocean!" Dia menyerangku dengan pelukan. "Kurasa aku tak bilang kemarin, tapi kami akan pergi hari ini."

"Apa?" Otakku masih berkabut. Kusipitkan mata melihatnya masuk ke apartemen tanpa minta ijin terlebih dahulu. "Pergi?"

"Pulang. New York." Pete mendahului, langsung menuju dapur dan membuka laci-laci makanan. "Sebelum pergi, kami setuju untuk kemari dan memastikan sesuatu."

"Sesuatu apa?" Aku menatapnya melemparkan croissant, menyendok Nutella di tempat lain. Yang lain segera masuk, menduduki sofa ; Patrick menyetel seri drama action sedang Joe menemukan kotak teh susu di lemari pendingin.

"Kesini." Patrick menepuk-nepuk tempat disebelahnya, melemparkan lengan disepanjang pundakku ketika aku duduk. "Sesuatu tentang cowok yang menghajar Baron itu, Val ; beritahu soalnya pada kami. Aku tidak percaya si idiot itu membuatmu menangis semalaman."

Aku mendesah. "Please, itu kan hal tidak harus di besar-besarkan."

Pete menggeram rendah. "Kau apa, Val? Aku tidak percaya kau bilang begitu saat semua orang menghawatirkanmu. Kau diapakan Baron?"

Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi padaku. Hebat.

"Bukan masalah besar, sungguh. Kenapa aku harus bilang soal orang yang meninju Baron ke kalian, omong-omong?"

"Kau bahkan tidak bilang dia laki-laki atau dia perempuan!" Joe terkesiap.

Aku menggosok alis. Kenapa mereka membesarkan hal seperti ini? Jika tahu Baron lebih dalam, mereka harusnya menerima itu darinya. "Aku tidak mau bilang apa-apa, oke? Kalian bisa bertanya-- aku tidak akan menjawab siapa yang meninju Baron."

"Chill." Patrick melepaskan tangannya. "Memang dia siapa untuk menjaga identitasnya? Superhero?"

Kusipitkan mata untuknya, sebelum menekan punggung ke sofa, mendesah. Bahkan aku belum sempat mengunjungi Baron. "Tapi, karena kalian membicarakannya, aku kepikiran untuk mengunjunginya."

"Hei, kau gila, ya?" Patrick mengernyit, menyeruput dari kotak teh yang ditemukan Joe. "Aku tahu persis kamu shock setelah kemarin-- tapi apa yang kau katakan kedengaran gila."

"Aku tidak gila, Bodoh." Aku berusaha terdengar normal meskipun sebenarnya ingin menggetoknya jatuh. "I'm shock like a sap. Terimakasih sudah mengingatkan. Tapi kuyakin dia tidak memaksudkannya. Maksudku, dia nyaris tidak menyentuhku; aku cuma over-reacting."

"Kau apa?" Pete menggigit croissant, melempariku sepotong besar dari benda itu. "Apa aku harus menghabiskan semalaman melihatmu tak berdaya di pangkuan Patrick, lalu mendapatimu bangun untuk mengucapkan hal 'over-reacting'?"

"Aku memang over-reacting. Kalian tidak tahu saja." Aku mengambil potongan yang jatuh ke pangkuan, melahapnya. "Aku benar-benar butuh seharian untuk tidak menjerit kesenangan ketika Beyoncé setuju bakal mengajariku. Jika kalian tahu Baron, kalian akan lebih tahu hal gila apa yang kira-kira tidak sadar ketika dilakukannya."

Magic \\ Calum HoodWhere stories live. Discover now