"Ocean, Sayangku." Bahuku diguncang ; dan aku tersandung bangun ke realita. "Bangunlah, kita harus siap-siap untuk pestamu."
"Bee?" Aku terduduk, memicingkan mata. Dia pasti sudah membuka korden yang tidak pernah kubuka ; sinar matahari langsung menyoroti wajahku. "Kapan aku tertidur?"
Dia tertawa kecil. "Ayo. Ini sudah jam delapan, Say."
Aku menatap Behati yang berdiri didekatku, lalu menutup mata lagi. Kepalaku berdenging hebat.
"Akan kubuatkan sarapan sementara kau mandi?" Behati menunduk untuk mengecup ubun-ubun, menggosok kedua pundakku yang dingin. Rambut pirangnya terjulur mengenai keningku.
Mom selalu mengecupku seperti ini setiap aku bangun di pagi hari ; mengucapkan selamat pagi dengan caranya sendiri. Aku menghela nafas, tiba-tiba rindu pada bagaimana caranya memperlakukanku beberapa tahun silam. "Sekarang, bangun, aku akan membereskan ini."Aku melemparkan kaki keatas karpet, berjalan keluar sementara Bee menetap dikamar. Kugosok mata untuk beradaptasi dengan sinar matahari terik LA.
Apartemenku ada dipinggir gedung dan berdinding seluruhnya kaca pada bagian luar. Setiap pagi, selalu ada cahaya silau matahari yang menerangi seluruh ruangan. Akan kusalahkan diriku yang lama untuk setuju pindah kesini ; neraka matahari.
Sejujurnya aku tidak pernah suka cahaya. Kutemukan malam hari lebih menenangkan dan membuatku aman. Aku lebih bisa berpikir jernih di kegelapan total dan suara minimal. Dengan alasan itu juga aku tidak pernah membuka korden kamar.Diatas sofa ruang tamu, dua gaun berbeda warna yang masing-masing ditutupi plastik bening terhampar. Aku mendekat untuk menyelipkan tangan dan merasakan kainnya. Ini terasa seperti kain dari kemeja, tapi jauh lebih halus. Bee menggosok hidungnya, keluar kamar seraya membawa selimutku. Aku melotot kaget. "Dude, apaan? Mereka yang terhangat!"
"Diam." Dia membuka pintu ruang cuci ; mendorong paksa selimut kedalam mesin cuci dan menekan beberapa tombol. Kudengar dengungan akrab mesin cuci setelahnya. "Cuma butuh sehari, juga. Nanti selesai setelah mesin pengering." Bee berbalik, menemukanku sedang menimang gaun. Nyengir. "Itu dari ayahmu, dua-duanya. Dia akan hadir ke pesta kebunmu."
"Really? Ini cantik banget!" Kutelusurkan tangan ke gaun dengan plastik bertuliskan 'Behati' dan logo perusahaan Dad diatasnya. Gaun Bee bewarna putih tulang ; bertali di bagian pinggang, dan berhenti sebelum lutut. Sudah pasti cocok untuk kulit tan-nya.
Kutemukan kartu ucapan dibagian dalam.'Behati Prinsloo, terimakasih sudah menjaga puteriku. -Steve Valens'
Aku nyengir, menaruh gaun Behati kembali. Tidak pernah menyangka Dad akan menjadi se-klasik ini. Gaun satunya, ditutupi plastik bertulis 'Ocean'. Aku terkesiap ketika melihatnya, mendengar si cewek pirang tertawa kecil.
Gaun untukku bewarna peach pastel super cantik dan berbordir bunga-bunga kecil bewarna biru keunguan. Aku nyaris merobek plastik penutup demi merasakan langsung kain dan bordirnya.Dia ingat warna kesukaanku sepanjang masa ; peach pastel.
Dad pernah mengadakan ulang tahunku dengan kebun yang dipenuhi bunga putih dan peach pastel. Dia duduk didekatku sementara aku bermain solo piano untuk yang pertama kalinya, dan bernyanyi untuk pertama kalinya. Aku begitu gugup sehingga nyaris mimisan sebelum tampil, tapi Dad ada disana untuk memberiku kekuatan.
Saat kakakku, Dax, menonton pertunjukan sepuluh-besar X-Factor, dia menyisipkan klip bunga Dahlia peach pastel ke kerah gaunku. Aku ingat caranya mendekapku, atau caranya menyisipkan rambut ke belakang telingaku. Terutama, caranya memberi tahuku apa arti warna bunga Dahlia yang disisipkannya.
"Dia punya merah, merah muda, oranye dan putih menjadi satu." Dax berbicara seraya menggosok pinggulku. Aku bisa merasakan nafasnya di dahiku sementara kami ada dalam posisi berpelukan. Sekalipun tahun berlalu, aku selalu punya perasaan takut yang sama ; dan Dax tahu benar cara menenangkanku.
"Merah artinya kekuatan dan kekuasaan." Dia mulai berbicara.
"Merah muda adalah kebaikan dan keanggunan.
"Oranye melambangkan pengembangan diri, pertumbuhan, juga kehangatan.
"Dan putih berarti simbol untuk tetap fokus dan murni."
YOU ARE READING
Magic \\ Calum Hood
Fanfiction"Kau percaya sesuatu tentang sihir, Ocean?" "Tidak." Ocean menggeleng, menjauhkan perhatian dari bukunya. "Memang kenapa?" Alice menyeringai, mengeratkan tangan Calum di sekitar pinggangnya. "Dia seperti sihir bagiku; Calum Hood." __ © Stupidnyan...