05

202 8 7
                                    

Aku masih bertahan di pelukan Calum, menerima elusan nyaman di belakang kepala. Mendengarnya bernafas di pelipis otomatis membuatku jauh menjadi lebih tenang.

"Nggak papa." Dia menempelkan pipi ke rambutku. Aku bergelung mendekat, membiarkan aroma tubuhnya memasuki indra penciumanku. "Kau ingin pulang?" Tanyanya.

Aku mengangguk, tak berani mengangkat kepala dari bahunya. Calum tampaknya mengerti, membiarkanku bersembunyi lebih lama lagi, menjauh dari gerombolan orang yang masih menonton Baron. Menuntunku berjalan ke belakang panggung dan menuruni tangga, membuka pintu belakang panggung. Sampai pada ruangan rias yang terang dan kosong.

Cowok ini mengambilkan ransel beruang di kursiku, menaikkannya ke pundak. Otomatis bersentuhan dengan kulit bahuku yang terbuka. Seperti gelombang kejutan yang besar, membuatku otomatis mencengkram kaus bagian belakangnya.

Calum terdiam sebentar, sebelum mendekat. Menekan punggungku lembut, mempererat pelukan kami. Satu lengannya merayap melingkar di bahuku. "Maafkan aku kemarin." Bisik Calum, menekan bibir di dahiku. Nafasnya berbau green tea, membuatku merasa lebih tenang. "Aku tidak pernah-- entah, tiba-tiba terselip begitu saja."

Aku mendongak untuk bertemu matanya, menemukan fakta bahwa wajah kami berada dalam jarak sebuku jari. Mata Calum seperti kolam indah yang menyesatkan, terpisahkan oleh dua lapis. Seperti sup yang belum diaduk; mengendap. Lapisan pertamanya seperti topeng. Bening, kesenangan, senyuman-senyuman palsu, seolah semuanya sempurna.

Di lapisan endapan, rasanya seperti melihat kedalam bayangan kolam air yang keruh. Perasaan kelam, ketakutan, dipenuhi ledakan, memaksa bebas. Aku berkedip, jemariku sudah menuruni rahangnya yang sempurna. Perasaan bersalah mengurungku.

Dia punya masa lalu yang sama denganku. Kenapa aku tidak pernah menyadarinya?

Rasanya aku mulai mengerti Calum. Perbuatannya padaku, didasari oleh landasan kasar masa lalu. Hidup telah memberi banyak pelajaran, termasuk bagaimana orang-orang berubah dari brengsek, menjadi satu-satunya yang memelukmu setelah kau dilecehkan. Kurasa aku hanya tidak mengerti bagaimana bisa dia berubah secepat itu.

Calum menjauh sedikit. Aku tersentak, kehilangan aroma menenangkannya disekitarku. Tapi dia mengeluarkan senyum manis, menggosok garis akhir mataku, meninggalkan jejak hitam di jemari. Aku mengernyit jijik, pasti wajahku hancur karena air mata. Riasan lengkap yang diaplikasikan Behati sudah hancur karena air mata.

Aku merengut malu, menggerakkan tangan menutupi wajah, memalingkan pandangan ke arah cermin yang dipasang sebagai pengganti lapisan dinding salah satu sisi.

Agak kaget rasanya ketika menemukan kami disana, seperti.. dilahirkan untuk bersama; untuk berpelukan. Kaki-kaki kami saling menyentuh. Aku merona ketika kakinya bergerak lebih dekat, membuatku jatuh semakin dalam di pelukannya. Sebagian wajahku tampak dari balik lengan Calum, masih sama dengan tatanan sebelumnya. Mengintip cermin seperti burung kolibri biru kecil yang penasaran.

Calum mengeluarkan dengusan ringan, menurunkan tanganku dari wajah. Membuatku berpaling menatapnya, kaget.

"Jangan." Katanya, serak dan dalam; mendekatkan tanganku ke wajahnya. Tatapan lembut itu membuatku bertahan, menunggu hal yang terjadi selanjutnya. Dia membersihkan kerongkongan sebelum bicara lagi. "Kau kelihatan baik-baik saja, Ocean."

Aku memperhatikan bagaimana dia menutup mata, mengecup punggung tanganku; nyaris terasa seperti sentuhan asing dari bunga dandelion. Percikan panas otomatis mengaliri pipi. Ada perasaan asing di perut, kebahagiaan yang meluap terlalu banyak. Aku menaikkan ujung bibir ketika menemukan matanya kembali memperhatikanku.

"Itu dia." Dia tersenyum manis, mendekat, menyelipkan anak rambut ke belakang telingaku. "Senyumanmu; seolah dunia tidak pernah melakukan apa-apa." Aku menatapnya lebih dalam. Dia memaksudkan Baron, tentu saja. Tapi aku sama sekali tidak merasa keberatan. Mungkin, Calum tidak seburuk yang kupikir.

Magic \\ Calum HoodWhere stories live. Discover now