Bab 14: Bukan Harimu (2)

18.6K 1K 15
                                    

Wajah Almira terpampang jelas pada layar komputer, tersenyum malu seakan menggodanya untuk merengkuh wajah mungil itu. Akh ... Bhaga mengusap wajahnya di saat bayang-bayang wajah cantik sang istri terus berkeliaran di manapun. Ia baru saja pergi beberapa jam yang lalu untuk bekerja, namun dengan hebatnya Almira mampu memecah konsentrasinya dengan kerinduan.

Ia mengetuk-ngetukkan ujung pulpen kedahi. Bibirnya membentuk senyuman kala mengingat wajah polos Almira. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya ketika merasa seperti remaja yang sedang puber. Oh, tidak. Bukan remaja puber lagi. Diumurnya yang sekarang, konon katanya para lelaki akan merasakan masa puber kedua. Apakah ia sedang mengalami masa itu? Entahlah. Yang pasti cintanya untuk sang istri tulus datangnya dari mata turun ke hati.

Tangannya tergerak mengambil ponsel di atas meja. Ia ingin menghubungi Almira dan menanyakan sedang apa perempuan itu. Mungkin dirinya bisa meminta sang istri untuk datang ke sini dengan sang sopir. Ia rindu mendengar suaranya, ia rindu melihat wujud fisik Almira yang bagaikan bidadari. Ya ampun. Terlihat jelas, memang benar pria ini sedang merasakan puber.

Jari-jarinya lihai mengetikkan nama sang istri, mencari kontaknya. Namun, ia menyerit saat tidak menemukan nama Almira di sana. Owh. Ia lupa. Nomor Almira tidak tersimpan pada ponselnya yang ini. Sewaktu itu, dirinya mendapat telepon dari sang istri pada ponsel satunya, khusus bisnis. Bhaga sendiri yang memberinya kepada Pak Wira tanpa pikir panjang. Ia bahkan sampai membawa kemanapun ponsel itu disakunya.

Bhaga menyugar rambutnya, kemudian bangkit dari duduk.

Pria itu berjalan membuka pintu untuk mengambil ponsel miliknya yang lain dari tangan asisten pribadi atau yang lebih dikenal dengan akronimnya, aspri. Akan ia pindahkan nomor Almira pada ponsel pribadinya.

"Maisy, saya minta handphone saya yang satu lagi," pinta Bhaga yang berdiri menjulang di hadapan sang aspri yang dengan sigap ikut berdiri.

"Baik, Pak." Jemari lentik itu segera mengambil ponsel milik atasannya dan memberikan dengan sopan. "Ini, Pak," ucap Maisy.

"Ya, terima kasih." Bhaga masih berdiri di hadapan asprinya. Pria itu membuka kontak dengan nama Almira untuk dicatat ke dalam kontak ponsel pribadinya.

Tidak ada.

Bhaga berdecak. Atau ia lupa menyimpannya? Bhaga berusaha mengingat saat pertemuan pertama dengan sang istri. Mungkin saja karena ia merasakan euforia, dirinya sampai lupa untuk menyimpan nomor Almira.

Maisy menyerit tatkala melihat atasannya yang sibuk mengutak-atik ponsel tersebut. Sekelebat ingatan, tiba-tiba mampir dipikirannya ketika tadi ia mengangkat telepon dari nomor yang tak tersimpan. Mumpung atasannya ada di sini, apa ia katakan saja ya? Kan, tidak menganggu waktu kerja Pak Bhaga.

"Maaf, Pak Bhaga," interupsi Maisy.

Bhaga mengalihkan atensinya ke arah sang aspri ketika sedang melakukan pencarian nomor Almira pada waktu pertemuan pertama mereka. "Ya?"

"Tadi ada seorang perempuan yang menelepon, Pak. Beliau mengenal Pak Bhaga."

"Siapa?"

"Ibu Almira. Beliau menanyakan Bapak, tapi ... tadi saya mengatakan jika belum membuat janji, tidak bisa saya berikan akses ke Bapak. Saya mematuhi peraturan yang Bapak buat," jujurnya. Ia tambahkan kata mematuhi agar dirinya tidak kena semprot. Bagaimana bila perempuan itu memang orang penting?

Hidung Bhaga seketika mengerut tak suka tatkala mendengar penuturan asprinya. Namun, karena Maisy mematuhi peraturan yang ia buat, tak bisa sekonyong-konyong memarahi sang aspri begitu saja, terlihat tidak etis.

"Lain kali, kalau ada apa-apa atas nama Ibu Almira, langsung bilang ke saya. Mengerti?!" tutur Bhaga agak tak enak didengar. Padahal sebenarnya ia tidak ingin marah, namun nada suaranya mengikuti suasana hatinya saat ini.

Nyonya Bhagawan (Milikku, Satu dan Selamanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang