Bab 11: Mengingat Masa Lalu

20.7K 1.1K 7
                                    

Almira tengah berbaring di atas ranjang dengan tubuh agak menegang belum terbiasa. Ia belum bisa merilekskan tubuhnya di saat Bhaga tertidur di samping dengan memeluk perutnya yang rata. Inginnya ia menolak, namun lagi-lagi dirinya segan. Mata perempuan itu mengawang menatap langit-langit atap. Saat ini, ada yang harus ia bahas. "Mas ...," panggil Almira lirih.

"Hmm ...," gumam Bhaga yang masih mengubur wajahnya di rambut halus nan wangi milik sang istri.

"Bian dan Ara, mereka ... mereka bagaimana sekarang? Aku tidak ingin, aku takut mereka nantinya akan membencimu, Mas karena aku. " Almira menggerakkan kepalanya ke samping, dirinya menjadi gugup ketika mendapati wajah tampan sang suami yang terlalu dekat dengan wajahnya sedang menyerit tak suka.

Bhaga mengembuskan napas. Baiklah, jika yang dibahas adalah tentang ke dua anaknya, ia akan menanggapi pembicaraan ini dengan serius. "Kenapa harus membenci? Lambat laun, mereka pasti akan menerima kamu sebagai ibunya, Almira. Aku tahu anak-anakku. Sejujurnya, di dalam hati Ara dan Bian sangat mendamba kasih sayang seorang ibu. Aku tidak bisa menjadi ayah dan ibu sekaligus untuk Anak-Anak, aku sibuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk menggantikan rasa sayang yang kurang dari ibu kandung mereka. Berharap, Ara dan Bian akan bahagia dengan apapun yang mereka bisa miliki, namun tidak dengan ibunya." Kedua mata madu Bhaga masuk ke dalam retina Almira, ia belai pipi sang istri lembut. "Kamu ... mau, kan menjadi ibu untuk Ara dan Bian? Menyayangi mereka seperti anak kandung sendiri. Jawab dengan jujur, Almira," pinta Bhaga. Mereka baru mengenal, ia tahu. Namun, pria itu butuh kepastian dari istrinya agar kejadian yang lalu tidak terulang kembali.

Mendengar penuturan dari sang suami, mata perempuan itu kembali menatap langit-langit kamar, mengerjap-ngerjap. Bola matanya meliar dengan bibir yang ia gigit.

Hingga, pandangannya fokus pada satu titik—pada bingkai foto yang tertempel indah didinding kamar. Di sana terlihat, suaminya sedang merengkuh kedua anaknya yang masih kecil, tertawa bersama dengan bahagia. Indah sekali. Tiba-tiba saja pikirannya melayang, membawanya masuk ke dalam memori masa kecil yang tak mengenakkan. Saat ini, bola mata perempuan itu seperti tergenang air. Jika ia kedipkan sekali saja, maka air itu akan tumpah.

"Sejujurnya, Mas." Suaranya terdengar serak. Ia berdehem singkat untuk menormalkan suaranya. "Aku belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibuk. Aku tidak tahu bagaimana rasanya disayang Ibuk. Aku, aku tidak tahu bagaimana caranya menyayangi Anak-Anak, Mas karena ... akupun sama seperti mereka," adunya. Air mata, tanpa ia komando pun mengalir turun melewati pelipis.

Bhaga menatap intens air mata yang mengalir. Tangannya tergerak, mengusap cairan bening itu dengan punggung jari telunjuk. Pria itu merangsek, mengangkat setengah tubuh—mengungkung tubuh Almira dengan tubuh besarnya. Kedua tangan itu sibuk menghapus air mata yang mengalir dipelipis sang istri.

"Hey ... mau bercerita?" bisik Bhaga di depan wajah sang istri. Mata pria itu meliar, membaca perubahan raut wajah Almira di hadapan.

Karena pertanyaan yang sang suami lontarkan, tangis Almira malah makin menderas. Tidak bisa. Bisikan Bhaga membuat sisi tersedihnya keluar. Ia keluarkan dengan tangis—semua, apa yang dipendam di dalam hatinya. Sekarang, ia tidak menangis sendirian lagi, ada Mas Bhaga yang siap menjadi pendengarnya.

Bibir Almira mengerucut sedih dengan wajah memerah. Matanya menatap bola mata Bhaga dengan tatapan memelas, seperti ingin mengadu. Dirinya jadi terbawa suasana.

"Menangislah, kalau kamu ingin menangis, Almira." Akhirnya, Bhaga membawa sang istri kepelukan. Diusap dengan lembut punggung sang istri. Ada sesuatu masalah yang dipendam Almira selama ini dan sudah pasti ia belum mengetahuinya.

Perlahan tapi pasti, tangan Almira bergerak membalas pelukan itu. Ia mencengkram erat kaus putih yang suaminya pakai untuk tidur sebagai pelampiasan. Perempuan itu membenamkan wajah, masuk ke dalam dada bidang sang suami.

Nyonya Bhagawan (Milikku, Satu dan Selamanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang