Hai ....
Maapkeun, ya, baru update sekarang. Banyak problem nih akhir-akhir ini. Jadi kureng semangat buat menghalu. 😔😔__________
Happy Reading!!
___________
"Bian? Kamu masih di sini, nggak pergi sama Mami?" Arawinda mengernyit ketika mendapati adiknya yang duduk di kursi makan, bersamaan dengan Danial dan Nicho yang tengah menikmati cookies buatan Bi Eni.
Arawinda datang bersama dengan kedua Aunty-nya dan Almira. Sejak sebelumnya, Aunty Saras mendatangi kamar sang mama lalu berlanjut ke kamar Aunty Nadine untuk berbincang sebentar.
"Nggak jadi," balas Bian.
Arawinda mengangkat tangannya untuk ber-high five dengan dua sepupunya, mengartikan jika anak gadis itu menyapa mereka. "Loh, kenapa?"
Bian menggigit pinggiran dalam bibirnya. "Mami ada urusan katanya. Nggak tahu selesainya kapan." Ia menggendikkan bahu.
Segaris senyum Arawinda timbul sembari menghela napas lega. Adiknya tidak jadi pergi bersama Mami. "Kamu sedih, nggak?" tanyanya setengah mengiba.
Adik Arawinda itu menggeleng pelan. Perasaannya abu-abu.
"Eumm ... kasihan sekali putra kecilnya Bapak Bhaga ini. Senyum dong, Sayang." Saras yang mengamati air muka Bian, tampak terkekeh akan wajah muram yang menggemaskan. Perempuan itu meraup lembut wajah sang keponakan. "Masih mau jalan-jalan, nggak?" tanyanya. "Mami nggak bisa ajak kamu jalan-jalan, ada Aunty dan lainnya yang bisa. Fighting! Keep your chin up!" Satu tangannya ia kepal di udara menyemangati putra kakaknya, seraya yang satu lagi digunakan untuk mengapit dagu Bian dan menggoyangkannya.
Tatapan Saras beralih kepada sang bungsu. "Danial, Mas Bian-nya disemangati, nih."
"Semangati apa?" tanya bocah laki-laki berumur empat tahun itu. Cookies yang masih hangat ditangan Danial ditaruh kembali.
"Itu lihat, wajahnya sedih." Suara Saras terdengar dibuat-buat dengan menampakan raut yang sama seperti milik Bian.
Melihat ekspresi Mima dan kakak sepupunya bolak-balik, tubuh kecil Danial tergerak turun dari kursi, kemudian menghampiri Bian. Dipeluk tubuh Bian yang masih duduk di kursi dengan menepuk-nepuk pelan seperti Dida yang memeluknya ketika menangis. Anak itu berharap cara ini bisa diterapkan kepada orang lain. "Don't be sad." Danial segera membuka tas kecil miliknya yang tadi tersampir dipundak dan mengambil sesuatu dari sana. "Nil gives you zollipops. Dida said, kalau menangis, beri ini saja, nanti diam."
Saras tersenyum, lalu mengacak rambut Danial. "Sok dewasa sekali kamu, ya."
"Tapi aku nggak nangis, Nial." Namun, Bian tetap mengambil permen itu dan menggenggamnya.
Danial menatap Mima untuk meminta jawaban akan perkataan kakak sepupunya. "Bilang, makan saja, Mas. Nanti akan senang lagi, nggak jadi sedih."
"Makan saja, nanti senang," ujar Danial mengikuti potongan perkataan mimanya. Mata bulat jernihnya menatap Bian, meyakinkan jika yang ia ucapkan akan menjadi kenyataan.
Bian menarik sudut bibirnya membentuk garisan lurus, memaksa untuk tersenyum. "Thank you, Nial."
Danial mengangguk cepat. "Don't be sad, ya," ucapnya.
"Buat Kakak mana, Nial? Kakak juga mau." Arawinda merundukkan tubuhnya dengan tangan yang menengadah.
"Kakak tidak menangis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Bhagawan (Milikku, Satu dan Selamanya)
RomantikApa jadinya bila Almira Pradista Pertiwi, perempuan dua puluh empat tahun menikah karena dijodohkan dengan duda kaya raya beranak dua, berumur empat puluh tahun? Jika ada yang bertanya, mengapa bisa? Anjani, sang kakak, terlibat utang yang cukup bes...