Bab 12: Tolong Aku, Mas

23.6K 1.1K 24
                                    

Sepi. Satu kata yang bisa Almira jabarkan. Setelah mereka sarapan bersama dalam keheningan di meja makan, Bhaga berpamitan untuk pergi bekerja. Begitupun dengan Arawinda dan Bian, mereka sudah pergi ke sekolah tak lama Papi mereka pergi. Dan sekarang—setelah Almira ditinggal sendirian oleh sang suami, ia kebingungan ingin melakukan apa di rumah sebesar ini. Hampir tiga hari ia tinggal, namun tak pernahnya ia pergi ke mana-mana selain hanya ruang makan dan kamar tidur. Sudah. Almira jadi merasa jenuh.

Matanya mengitari bangunan megah dengan langkah kaki yang tanpa sadar membawanya menelusuri setiap jengkal ruangan demi ruangan. Ia terpukau. Dalam benaknya ia bertanya-tanya. Butuh berapa miliar uang yang digelontorkan untuk membangun rumah sebesar dan semewah ini? Namun, tangannya tiba-tiba menepis. Akh, sudahlah. Buat apa ia memikirkan itu, bisa mimisan ia nanti kalau diberitahu.

Langkah kaki Almira terhenti sesaat tatkala matanya terpaku pada satu ruangan. Kemudian ia mendekat, menghantarkannya pada halaman belakang rumah. Mata cantik Almira sontak membulat berbinar dengan pandangan terpesona akan keindahan yang nyata di hadapannya. Di sana, terdapat taman kecil yang sangat terawat dan indah.

Tanaman-tanaman menghias cantik di setiap penjuru taman. Terdapat juga bangku ayunan dari kayu, ruang santai dan beberapa permainan khusus anak kecil terpasang di sana.

Netra Almira terus bergulir ke lain arah. Glek. Ia menelan ludah kala menyorot fokus pada satu titik. Perempuan itu mendapati sesosok yang memunggunginya mirip seperti ibu dari Mas Bhaga sedang menggunting-gunting tangkai tamanan.

Almira menggigit bibir. Ya, memang benar. Itu memang mama mertuanya. Hampiri atau tidak? Tapi nyalinya tidak sebesar itu untuk menghampiri dan mengajak Ibu Winda, memulai obrolan. Apalagi akan perkataannya tempo hari, yang mengatakan dirinya menjebak Bhaga untuk dinikahi, membuat Almira jadi segan. Takut kata-kata menyakitkan keluar lebih dari ini.

Nanum, belum juga ia mengambil pilihan, kedua kaki Almira terasa langsung terpaku di saat sang mertua malah memanggilnya.

"Kamu, kemari lah!" pinta Mama Winda dengan suara yang terdengar tegas.

Sebelumnya—di tempat, Mama Winda seakan merasakan kehadiran seseorang di balik tubuhnya. Insting dan intuisi perempuan lansia itu cukup tajam. Ia memutar setengah tubuhnya ke belakang dan—benar saja. Terlihat—ia tekankan—istri dari sang putra tengah berdiri tak jauh dari tempatnya berada.

Almira mengigit bibirnya dan mencoba tersenyum. Ternyata begini jadinya, Mama Winda yang memanggil dirinya. Langkah kaki Almira perlahan menghampiri, menuju tempat mertuanya berada.

Mama Winda berdeham. Ia memperhatikan Almira yang berjalan mendekat ke arahnya. "Duduk di situ!" perintah Mama Winda yang langsung dituruti Almira, duduk dengan sopan di kursi santai.

Mama Winda membalikkan tubuh, menyelesaikan pekerjaan yang tadi tertunda. Kemudian, tak lama, ia memanggil salah satu pelayan untuk menaruh gunting beserta peralatan lainnya.

Perempuan yang tak lagi muda itu juga meminta untuk diambilkan white tea beserta camilan. Sepertinya Mama Winda akan terlibat percakapan jangka panjang dengan sang menantu.

Dibalik itu, sudah berapa kali Almira meneguk ludahnya kelat. Netranya meliar di antara tanaman cantik yang terawat. Tanpa ada yang tahu, rasa-rasanya ia seperti akan di-interview oleh HRD. Jantungnya tanpa bisa dikendalikan, berdegup kencang. Bahkan, rasa ini lebih parah karena ia belum menyiapkan mental sama sekali. Lebay? Entahlah. Teman-teman kantornya yang sudah berumah tangga sering berkata, ibu mertua itu biasanya galak dan kita akan merasa serba salah dengan apapun yang kita lakukan. Itulah mengapa, ia jadi terdoktrin oleh omongan mereka. Dirinya takut apapun yang keluar dari mulutnya akan jadi pertanyaan yang beranak dan menjebak.

Nyonya Bhagawan (Milikku, Satu dan Selamanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang