"Wah, omahe gedhe banget ya, Pak?"
Anjani bergeleng kagum tatkala melihat penampakan depan rumah suami Almira yang besar bak istana yang ia tonton di televisi. Ia berdecak berkali-kali ketika merasa Almira adalah perempuan yang paling beruntung didunia ini.
Bapak yang terpukau pun menganggukkan kepala, mengiyakan perkataan sang putri. Pak Bhaga ternyata mempunyai rumah yang besarnya berkali lipat dibanding rumahnya di kampung.
"Iya, Nduk. Gedhe banget," ucap Pak Wira terkesima.
"Pak Wira, Mbak Anjani, mari ikut saya, kita masuk ke dalam dan bertemu Ibu Almira. Beliau sudah menunggu di sana." Seorang sopir yang ditunjuk Bhaga berniat mengantar keduanya untuk masuk ke dalam, seperti pesan yang diamanahkan sang majikan untuk dirinya.
Bola mata Anjani kontan membulat berbinar, ini yang ia tunggu-tunggu.
"Ayo, Pak!" seru Anjani dengan gembira. Langkah kakinya sengaja ia percepat agar bisa melihat seisi rumah besar milik sang adik ipar. Ah, ia tidak sabar.
Sembari berjalan, tatapan Pak Wira, disebar ke sana ke mari dengan diiringi decakan kagum. Pak Wira memperhatikan sekeliling rumah sang menantu yang nampak modern, tidak seperti rumah-rumah di kampungnya, jauh sekali. Ia baru melihat seperti ini secara langsung dengan kedua matanya.
Saat mereka sudah mencapai pintu utama, benda besar itu terbuka perlahan hingga menampilkan sesosok perempuan yang sangat mereka kenal dengan anak gadis yang berdiri di belakangnya.
"Bapak!?" panggil Almira. Perempuan itu langsung menubruk tubuh sang bapak dan memeluknya penuh kasih sayang. Ia elus punggung tua itu. "Nggak capek, kah, Pak, perjalanan jauh dari kampung ke sini?" tanya Almira sembari melepaskan pelukannya.
"Adoh banget yo, Nduk, lumayan pegel badan Bapak. Tapi yo ndak pa-pa kalau bisa ketemu anak Bapak ing kene," Almira tersenyum mendengar penuturan bapaknya.
Ia mengalihkan tatapannya ke arah sang sopir yang diperintahkan suaminya untuk menjemput bapak dan kakaknya. "Terima kasih ya, Pak, sudah mengantar Bapak dan mbakku sampai tujuan dengan selamat," ucap perempuan itu tulus.
"Iya, Bu, sudah tugas saya sebagai sopir untuk mengantar jemput," jawab sang sopir dengan sopan. "Kalau begitu, saya izin pamit ya, Bu," ijinnya.
Almira mengangguk. "Iya, Pak, sekali lagi terima kasih," ucapnya.
"Mira, ayo kita masuk ke dalam rumah suamimu. Aku mau lihat, loh, di dalamnya ada apa saja," ucap Anjani jengah setelah kepergian sang sopir. Ini terlalu bertele-tele buatnya yang sangat ingin menjelajahi rumah besar sang ipar.
Almira mengembuskan napas, namun setelah itu, bahunya serasa dicolek dari belakang. Sontak saja ia menengok. Almira meringis. "Ouh iya, ada Ara aku lupa, maaf," sesalnya saat baru mengingat bahwa tadi Ara meminta untuk ikut.
Almira memberi ruang untuk sang anak menyapa kakeknya. "Pak, kenalkan ini ... putriku, namanya Arawinda. Panggil saja Ara." Ia kenalkan anak gadis itu ke sang bapak. Almira mengelus lembut punggung Arawinda.
Anak gadis Bhaga tersenyum kecil dan mengulurkan tangannya meminta salim. "Oalah, ayu tenan putrine Pak Bhaga," puji Pak Wira kepada Arawinda. Ia mengulurkan tangannya, kemudian langsung di salimi oleh anak gadis itu walau dengan wajah yang menyerit.
"Namaku Ara, Kek, bukan Ayu," ungkap Arawinda memberitahu.
Almira dan Pak Wira tertawa tatkala mendengar ucapan Arawinda. "Ayu maksudnya itu cantik, kamu cantik sekali, Nduk, mirip artis-artis di tipi." Pak Wira menjelaskan maksudnya. Ia tersenyum lembut untuk anak gadis dari atasan merangkap menantunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Bhagawan (Milikku, Satu dan Selamanya)
RomanceApa jadinya bila Almira Pradista Pertiwi, perempuan dua puluh empat tahun menikah karena dijodohkan dengan duda kaya raya beranak dua, berumur empat puluh tahun? Jika ada yang bertanya, mengapa bisa? Anjani, sang kakak, terlibat utang yang cukup bes...