Bab 41: Pertanda Apa?

7.6K 866 168
                                    

Happy Reading!

___________

"It's mine!"

"No, aku duluan yang ambil, berarti ini punya aku."

Bian berusaha merebut piring berisi omelette sesuai permintaannya dari tangan Arawinda. "That's me! Kalau Kakak mau, bilang dari tadi. Nanti dibikinin."

"Nggak mau, maunya yang ini." Arawinda meledek sang adik dengan menjulurkan lidahnya kecil.

"Ara, adiknya jangan dijahilin terus. Nanti nangis." Omah Winda menginterupsi keduanya agar makan malam berjalan lancar tanpa ada drama sang cucu yang menangis histeris karena diganggu sang kakak.

Dibilang seperti itu, Bian mengerutkan hidungnya tak suka. "Enggak, aku nggak akan nangis, Omah." Bian kontan menarik tangannya dan diletakkan di pangkuan. "Ya udah itu buat Kakak aja."

Mama Winda tersenyum geli. Oh, lihatlah lagaknya. "Cucu Omah yang paling tampan ini sudah besar ternyata. Hebat, dong, ya kalau sudah nggak suka menangis lagi."

"Apaan, you cried yesterday. Baru kemaren Bian nangis, Omah."

Almira membawa mangkuk bening berisi sup ayam sambil tersenyum. Malam ini, suara Bian dan Arawinda menjadi pemecah suasana, membuat suasana tampak lebih hidup dan bersemangat.

Ditilik kembali, berbeda pada kehidupannya yang lalu jika Mbak Anjani dan dirinya yang tak begitu dekat hanya makan dalam diam. Walau, sesekali sang kakak suka mengoceh dan menyindir dirinya di meja makan tanpa Bapak yang meredakan.

Teringat akan masa-masa itu, suasana hati Almira bak rollercoaster, terjun bebas, apalagi dirinya sekarang dalam keadaan mengandung yang membuat emosionalnya bisa berubah secepat kilat. Ia alihkan segera tatapannya kepada kedua anaknya yang masih sibuk berdebat, lalu berpindah kepada sang suami yang sedang mengutak-atik ponselnya di meja makan. Merasa diperhatikan, Bhaga mendongak menatap Almira, dan diberikan tebaran pesonanya yang langsung perempuan itu balas. Lihatlah, Almira. Saat ini, seperti inilah kehidupanmu. Tidak akan ada lagi kejadian yang lalu, tekannya. Almira berusaha menormalkan kembali perasaannya. Ia makin naikkan senyum yang tadi sempat surut.

Namun, nahasnya. Belum sampai meja makan, mangkuk sup tak disengaja tergelincir dari tangan Almira, yang menyebabkan jatuh membentur lantai hingga pecah berserakan.

Prank!

"Ya Tuhan!" Mama Winda berseru kaget ketika mendengar bunyi pecahan beling.

Rasa desiran tak nyaman di hati, seketika Almira rasakan. Padahal sudah dibawa dengan benar, kenapa bisa sampai jatuh?

"Mama!" Arawinda berdiri dari duduknya hendak menghampiri Almira. Namun, kalah cepat dengan sang papi yang langsung menuju mamanya yang malah termenung.

Dibersihkan lebih dahulu oleh Bhaga, sayur-sayuran yang mengenai punggung kaki yang sudah memerah itu.

Lantas, Bhaga mengangkat tubuh sang istri ke kamar mandi terdekat untuk membasuh kaki Almira dengan air mengalir agar tidak meradang. Terlihat, ada setitik darah di sana dikarenakan serpihan beling yang melukai.

"Sakit?" tanya Bhaga pelan. Dari posisi pria itu yang berjongkok, Almira bisa melihat gurat kekhawatiran yang terpampang jelas.

Almira mengusap wajahnya sebelum mengelus bahu sang suami, memintanya untuk segera berdiri. "Nggak pa-pa. Cuma perih sedikit."

"Kakimu jadi memerah, Almira." Diusap lembut punggung kaki sang istri yang mengeluarkan desisan kecil. "Aku tahu, itu sakit," tukas Bhaga dengan suara rendah.

Nyonya Bhagawan (Milikku, Satu dan Selamanya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang