Happy Reading!
__________
Almira berjalan dengan santai, berniat menghampiri Bian di kamarnya. Ia menekan empat angka kode kunci kamar yang sudah ia hapal berkat Arawinda yang tak sengaja ia lihat saat anak gadis itu menekan angka-angka hingga pintu bisa dibuka. Sudah beberapa hari ini, setiap di atas jam sepuluh malam, Almira selalu datang ke kamar Bian. Kata pengasuhnya, anak itu biasa sudah tertidur sebelum jam sepuluh. Dan, entah kenapa ini menjadi kebiasaan Almira. Awalnya, ia mencoba masuk ke dalam kamar anaknya bersama Bhaga di tengah malam, sewaktu anak itu menangis kencang setelah mengetahui bahwa dia akan memiliki adik. Mereka harus memastikan Bian tidur dengan nyenyak atau setidaknya merasa tenang. Setelahnya, untuk beberapa hari terakhir ini, Almira meminta izin kepada Bhaga untuk ke kamar Bian sendiri tanpa didampingi suaminya.
Bintang-bintang yang bertebaran di langit-langit atap kamar Bian langsung menyapa netranya, membuat ia merasa nyaman. Indah sekali seperti menatap bintang-bintang langsung di langit malam. Sayangnya, sekarang diperkotaan sudah jarang bintang terlihat yang membuat ia seringkali merindukan kampung halamannya. Mungkin ini salah satu alasan kenapa ia jadi sering ke sini. Baiklah, nanti, ia akan bilang ke suaminya untuk dibuatkan seperti ini di kamar mereka, kalau bisa dengan milky way sekalian. Almira menganggukkan kepalanya akan niatnya ini seraya mendatangi ranjang anak laki-laki itu dan duduk di ujung ranjang. Perempuan itu tersenyum tipis melihat Bian yang sudah tertidur. Damai sekali.
Jari-jemari tangannya perlahan menelusuri pipi Bian dengan ringan. Jika sedang tidur begini, Bian tampak sangat menggemaskan. Wajahnya tampan sekali. Netranya pun tak pernah bosan mengamati wajah Bian yang sedang memejamkan mata. Jika saja anak ini sudah bangun, mana mau Bian memperlihatkan wajah polos tanpa gurat ketidaksukaan kepadanya. Ini waktu yang tepat untuk memperhatikan wajah Bian lebih lama. Rambut lebatnya yang berwana kecoklatan pun tak luput dari usapan lembut Almira. Rambut Bian berbeda dengan milik papinya yang mempunyai warna hitam legam. Besar kemungkinan rambut Bian menurun dari sang mami.
Kemudian, tangan Almira turun, kembali membelai pelan pipi itu. Namun, semakin ditatapnya, tiba-tiba keinginan untuk mengecup pipi Bian timbul kembali. Almira mengulum bibir, apakah ini jadi kesempatannya? Mungkin saja iya. Netranya fokus pada pipi putih yang sekarang ingin sekali ia cium. Semoga saja Bian tidak terbangun.
"Bian ...," panggil Almira dengan suara rendah. "Mama izin cium pipi kamu, ya? boleh, kan?" lanjutnya.
"Iya, boleh," jawab Almira meniru suara Bian.
Almira menyunggingkan senyum jenaka, lalu terkekeh karena hal konyol ini. Marah tidak ya? Semoga saja tidak.
Almira merundukkan kepalanya, kemudian mengecup pipi lembut itu dengan penuh penghayatan, cukup lama.
Ah, lega sekali rasanya ketika sudah menciumnya. Almira menjauhkan kepalanya. Bian tidak terbangun. Perempuan itu spontan mengusap perut saat keinginannya sudah terpenuhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Bhagawan (Milikku, Satu dan Selamanya)
RomanceApa jadinya bila Almira Pradista Pertiwi, perempuan dua puluh empat tahun menikah karena dijodohkan dengan duda kaya raya beranak dua, berumur empat puluh tahun? Jika ada yang bertanya, mengapa bisa? Anjani, sang kakak, terlibat utang yang cukup bes...