Almira berdiri kaku, menunggu sang suami menyelesaikan mandinya. Terkadang, salah satu betis ia usap-usap dengan punggung kaki. Tak terhitung berapa kali ia menggulum bibir gelisah. Almira harus menyelesaikan masalah mereka sekarang juga. Ia tidak ingin didiami sang suami karena sedari tadi, Mas Bhaga mencuekinya. Rasanya aneh, seperti ada yang hilang. Duduk saja ia tetap gelisah, tak bisa diam.
Tubuh perempuan itu berganti menegang, ia langsung berdiri tegak. Pintu geser kamar mandi terbuka dari dalam menampakan Bhaga yang baru menyelesaikan mandinya. Mata Almira membulat syok saat mendapati sang suami yang hanya mengenakan handuk yang melilit pinggang hingga atas dengkul.
Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan pipi yang sudah memerah dan memanas. Dipeganginya kedua pipinya itu. Baru pertama kali ia melihat seorang pria yang hanya menutupi bagian intimnya saja. Dirinya jadi merasa berdosa. Lagian, mengapa juga dirinya malah menunggu di depan pintu kamar mandi? Sudah pasti akan mendapatkan pemandangan seperti ini.
Bhaga memperhatikan Almira yang bertingkah aneh. Kenapa istrinya itu? Tak ia hiraukan, Bhaga berjalan masuk ke dalam walk-in closet untuk berpakaian.
Saat sang suami sudah hilang dari pandangan, Almira menggulum bibir sembari menepuk-nepukkan pipinya pelan. Ia tidak bisa berbicara dengan Mas Bhaga dalam keadaan setengah telanjang. Almira tidak kuat melihat tubuh bugar sang suami tanpa pakaian. Kalau bisa ia pingsan, dirinya akan pingsan sekarang juga.
Perempuan itu mengerjap-ngerjap. Kedua netranya menatap dirinya yang hanya berbalut pakaian sederhana. Karena ia tidak jadi membeli gaun, dengan terpaksa ia memakai pakaian seadanya. Ya sudahlah, biarkan. Terserah pandangan kedua adik Mas Bhaga yang menilainya seperti apa. Ia sudah terbiasa bila dipandang rendah.
"Ekhem ... kamu sudah siap?" tanya Bhaga dengan suara bass-nya, memecah lamunan Almira.
Perempuan itu menganggukkan kepalanya canggung. "Engh— iya, sudah," jawab istri Bhaga itu pelan.
"Ayo!" Bhaga berjalan terlebih dulu ke arah pintu ingin membuka, namun saat tangannya sudah mencapai handle pintu, baju belakangnya seperti ada yang menarik. Lehernya otomatis meliuk untuk menatap pelakunya. "Ada apa?" tanya Bhaga dengan sebelah alis terangkat.
"Hum ... boleh bicara sebentar?" Almira menundukkan pandangan takut di tolak.
Mendengar itu, Bhaga membalikkan tubuh dan membawa kedua tangannya terlipat di dada. "Bicara apa?"
"Duduk di sofa?" Tunjuk Almira dengan matanya.
Tanpa bersuara, Bhaga berjalan ke sana, menjatuhkan bokongnya pada sofa empuk.
Diikuti Almira yang duduk di samping sang suami seraya memindahkan sejumput rambut ke belakang telinga. Dirinya jadi gugup.
"Hmm ... Soal yang tadi, aku minta maaf. Tapi ... aku memang menganggap Lian hanya sebatas teman sekolahku, Mas. Aku juga nggak tahu kenapa dia tiba-tiba berbicara seperti itu, untuk apa?" gumam Almira diakhir kalimat dengan takut-takut bercampur kebingungan. Ia bingung, kenapa Lian malah mengakui dirinya sebagai mantan kekasih di hadapan Mas Bhaga?
Pandangan Bhaga tiba-tiba berubah menggelap. "Jangan pernah ucapkan nama laki-laki lain di depanku, Almira! Aku tidak suka," desis pria itu yang mana membuat sang istri meneguk ludahnya kelat. Ia salah lagikah?
"Maaf." Pandangan Almira tertunduk.
Pria itu mendengus pelan. "Aku ingin dengar, kenapa kamu bisa keluar dari rumah? Tolong jawab jujur!" pinta Bhaga. Ia ingin dengar versi istrinya, apakah sesuai dengan yang diberitahukan pihak keamanan rumah?
Bola mata Almira meliar ke atas. Kalau ia jujur, apakah Bhaga akan memarahi Bian? Ia tidak mau bila putra suaminya itu kena omel sang ayah, Almira tidak tega. Tapi, kalau ia berbohong, apakah Bhaga akan bertambah marah kepadanya dan menimbulkan masalah baru?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Bhagawan (Milikku, Satu dan Selamanya)
RomansApa jadinya bila Almira Pradista Pertiwi, perempuan dua puluh empat tahun menikah karena dijodohkan dengan duda kaya raya beranak dua, berumur empat puluh tahun? Jika ada yang bertanya, mengapa bisa? Anjani, sang kakak, terlibat utang yang cukup bes...