Ada yang ingin mendesak keluar. Almira segera menutup mulutnya. Lagi, rasa itu kian bertambah parah. "Sebentar, Ara." Segera Almira berlari menuju kitchen sink dengan mulut yang masih tertutup. Ia tak tahan saat mencium bau bawang yang baru saja perempuan itu potong merasuk ke indra penciumannya. Bau sekali, bikin mual.
"Huekk ...." Almira berusaha mengeluarkan isi perutnya agar mual yang mendera segera hilang. Berkali-kali, hingga hanya cairan bening yang keluar. Tubuhnya melemas membuat Almira berpegangan pada ujung sink sebagai tumpuan.
Arawinda yang sedari tadi menemani Almira memasak, mengikuti langkah sang ibu yang tiba-tiba saja berlari lalu muntah-muntah.
"Ma, nggak pa-pa?" Arawinda menghampiri ibu sambungnya dan mengelus lengan Almira yang lembab akibat keringat dingin yang keluar.
Peningkatan. Arawinda sudah bisa membiasakan dirinya untuk memanggil Almira dengan sebutan Mama. Awalnya memang karena kemauan Papi Bhaga, namun, lama kelamaan dirinya menjadi nyaman dengan panggilan itu. Rasanya benar-benar seperti mempunyai ibu. Apalagi Mama Almira ini sangat sayang kepadanya, kepada Bian dan Papi tentu saja.
Almira memberikan senyum terbaiknya untuk Arawinda agar anak gadisnya tidak panik, walaupun wajah perempuan itu terlihat jelas pucat pasi di netra sang putri. "Nggak! Mama nggak pa-pa. Kamu ngapain ke sini? Di sana dulu, Mama habis muntah nanti kamu jijik, Ara. Maaf ya, tadi udah nggak kuat nahannya, jadi nggak sampai ke kamar kecil." Masih selalu ada getaran halus yang menghinggapi hati Almira setiap menyebut dirinya sendiri Mama. Bahagia dan ... entahlah.
Arawinda menggeleng tegas. "Aku nggak jijik. Mama sakit, ya? Masuk angin? Aku teleponin Papi, ya, Ma?"
Almira membasuh wajahnya dengan air sebelum menjawab. "Nggak usah, Ara. Nggak pa-pa. Mama duduk sebentar, ya? Nanti kita lanjut masaknya."
Arawinda mengangguk dengan raut wajah yang kentara cemas. Anak gadis itu memanggil satu pelayan yang baru datang ke dapur kotor dengan membawa gelas-gelas bekas pakai untuk dicucinya di kitchen sink.
"Mbak Indah, tolong ambilin air hangat, dong, untuk Mama aku," pinta Arawinda meminta tolong.
Indah samar mengernyit tak suka mendengar Arawinda memintai dirinya mengambilkan minum untuk Almira. Namun, ia harus mengerti bahwa posisinya di sini adalah babu yang harus mematuhi permintaan majikannya. Tak ada hak dirinya untuk menolak.
"Iya, sebentar, Kak." Indah mengambil gelas beling dari rak gelas, ia tekan tombol hot pada dispenser, kemudian ditambahi air dengan suhu normal. Diberikan gelas tersebut ke Arawinda yang langsung diberikan untuk ibunya.
"Ma, ini, diminum."
"Makasih, ya, Ara." Almira tersenyum tulus, lalu mengalihkan pandangannya untuk Indah. "Makasih, Mbak," ucapnya teruntuk pelayan rumah itu yang hanya diangguki walau tak ikhlas.
Almira mengambil gelas tersebut dan meminum isinya sedikit, lalu diletakkannya gelas tersebut di atas meja. Netra Almira melihat kembali hasil potongan bawang yang tadi ia potong dari kejauhan. Tiba-tiba saja, rasa asam dari lambung naik kembali hanya dengan melihatnya. Tidak bisa. Dirinya tidak bisa melanjutkan.
"Ara, kamu masih ingin masak-masak?"
"Mama?"
Almira menunjukkan wajah tak enak hati. "Kayaknya Mama nggak bisa, Ara, entah kenapa Mama bisa mual cium bau bawang, maaf. Kalau kamu masih mau lanjut, nanti bisa panggil Bi Eni. Nanti Bibi yang bantu kamu. Gimana?" Ia ambil kedua tangan Arawinda untuk digenggam. Niatnya tadi mereka akan membuat bakso, bahkan adonannya pun sudah jadi dan sedang direbus. Namun, saat memotong bawang merah untuk digoreng, Almira merasa mual yang tak terkira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Bhagawan (Milikku, Satu dan Selamanya)
RomanceApa jadinya bila Almira Pradista Pertiwi, perempuan dua puluh empat tahun menikah karena dijodohkan dengan duda kaya raya beranak dua, berumur empat puluh tahun? Jika ada yang bertanya, mengapa bisa? Anjani, sang kakak, terlibat utang yang cukup bes...