Edisi Almira momong tiga bocah.
Happy Reading!
__________
Kedamaian Sasmita ketika tertidur, telah mengambil alih penuh perhatian Almira. Wajahnya agak ia dekatkan dengan wajah Sasmita, ibu jarinya tergerak mengelus lembut pipi gembul itu. Anak sekecil ini, belum paham jika hubungan orangtuanya tengah bermasalah. Sasmita belum paham mengapa sang ibu jadi sering menangis dan diajak pergi ke mana-mana tanpa Papa bersama mereka.
Hari ini, dengan diantar Mama Winda, Nadine diajak untuk berkonsultasi dengan psikiater. Sedini mungkin Mama Winda membawa putrinya ke sana untuk mengevaluasi kesehatan mental sang putri. Nadine tidak boleh jatuh terpuruk karena seorang laki-laki. Perempuan itu pun masih memiliki putri kecil yang membutuhkannya dan harus dia rawat sebaik mungkin dengan keadaan mental yang sehat.
Tanpa ragu, sebelum Nadine dan Mama Winda memutuskan untuk berangkat, Almira menawarkan diri untuk menjaga Sasmita agar Nadine tidak perlu mencemaskan keadaan putrinya ketika ditinggal. Ada dirinya yang siap membantu.
Dan sekarang, di sinilah Sasmita, sedang tertidur pulas di ranjang Almira dan Bhaga.
"Mama!"
Almira sontak meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. "Ssst! Sasa sedang bobok, suaranya dikecilkan, ya, Ara," ucapnya memberi larangan lembut kepada Arawinda.
"Ups! Oke!" Anak gadis itu memelankan nada suaranya. Ia tersenyum paham dengan raut wajah yang terlihat ceria.
Almira pun ikut mengembangkan bibirnya melihat betapa riangnya sang putri. "Kenapa, Ara?"
"Aku mau nunjukin ini, gambar aku." Kertas gambar ukuran A3, Arawinda berikan kepada sang mama. Memperlihatkan gambar arsiran yang dikatakan cukup bagus bagi anak umur dua belas tahun. Kemampuan Arawinda dalam menggambar ternyata patut diacungi dua jempol. Terlihat, empat wajah yang diarsir sedemikian indah dan cukup rapi. Ada nama yang diukir pada masing-masing wajah tersebut. Papi Bhaga, Bian, Arawinda dan ... Mama Almira. Spontan, Almira mengulum senyumnya. Ia mengalihkan perhatiannya kepada sang putri memandangnya haru. Begini saja, mampu membuat matanya terasa menyengat. Arawinda menggambar wajah dirinya, bukan Estelle, sang ibu kandung.
"Bagus, bagus banget, Ara! Kamu pinter banget gambarnya." Almira berucap antusias. Dielusnya lengan sang putri.
"Makasih, Ma. Ini sebenernya udah aku kerjain dari seminggu yang lalu, terus aku lanjut, deh, gambar di sini. Aku baru belajar cara menggambar teknik arsir, lho! Guru aku yang ajarin," adu putri Bhaga.
"Ini bagus banget, Ara. Gambarnya buat Mama, ya. Nanti dikasih bingkai, terus dipajang di sana." Almira menunjuk dinding kamarnya yang kosong.
"Iya! Iya! Nanti dipajang, ya, Ma. Bener, ya?" Arawinda berkata penuh semangat.
Almira mengangguk-angguk. "Mama boleh peluk, nggak?" Melihat anak sambungnya yang selalu terlihat senang saat bersamanya, Almira tidak pernah berpikir akan sejauh ini hubungan yang terjalin antara dirinya dengan sang putri sambung.
"Bolehlah!" Arawinda berinisiatif, langsung membungkukkan tubuhnya memeluk Mama yang duduk di atas ranjang.
Almira tentu menyambutnya. Ia bangun dari duduk, memeluk Arawinda yang tingginya hampir sama dengannya. "Sayang banget sama Ara." Diusap punggung Arawinda lembut. "Walaupun Ara menganggap Mama ini sebagai ibu Ara dan Bian, tapi tetap jangan lupakan Mami Estelle, ya," lanjutnya mengingatkan.
Arawinda melepas pelukannya. "Iya, Ma. Walaupun aku sama Mami jarang ketemu dan kadang suka bikin sebel, tapi aku juga sayang, kok, sama Mami. Nggak pa-pa, kan, Ma?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyonya Bhagawan (Milikku, Satu dan Selamanya)
Roman d'amourApa jadinya bila Almira Pradista Pertiwi, perempuan dua puluh empat tahun menikah karena dijodohkan dengan duda kaya raya beranak dua, berumur empat puluh tahun? Jika ada yang bertanya, mengapa bisa? Anjani, sang kakak, terlibat utang yang cukup bes...