"Kau tahu apa yang aku takutkan didunia ini?" Tanya Hinata.
"Apa?" Hinata menatap langit malam. Cahaya rembulan yang cantik ditemani kelap kelip bintang disegala sisinya.
"Perpisahan" Sasuke terus menyimak apa yang Hinata katakan. Salah satu hal yang Hinata suka dari pemuda itu adalah dia setia mendengarkan celotehannya. Dia tidak pernah memaksakan pendapatnya kepada Hinata. Bagi Sasuke kebebasan berpendapat akan menghidupkan ruang diskusi.
"Tidak ada yang kekal didunia ini Hinata. Maka kau akan terus bertemu dengan perpisahan itu" Hinata menatap Sasuke.
"Dan yang paling aku takutkan adalah berpisah denganmu" Sasuke terdiam.
"Aku tidak akan benar benar pergi. Sekalipun tubuhku tidak lagi disisimu, aku akan terus hidup dalam ingatanmu Hinata"
______________________________________
Hinata terbangun dari tidurnya. Dia menatap atap yang dimana bukan atap kosannya. Mereka berada dihotel sekarang. Dan sebentar lagi Hinata akan menemui Sasuke. Hinata tersenyum. Rasa rindu yang telah dia tumpuk bertahun-tahun akan segera terbalaskan. Dia ingin merasakan sentuhan halus tangan pemuda itu mengelus puncak rambutnya. Dia rindu hangat dekapannya yang penuh perhatian. Dia sangat merindukan semua yang menggambarkan Sasuke.Hinata melangkah menuju jendela kamarnya. Pemandangan kota Berlin yang begitu cantik. Dia tidak pernah membayangkan dirinya berkunjung ke negara itu hanya untuk mencari seorang laki-laki. Cahaya mentari yang mulai meninggi dan hangatnya menyentuh kulit Hinata, dia bangun terlalu pagi sepertinya. Hinata menatap sahabatnya yang masih tertidur lelap. Maklum mereka tiba dini hari dan dia hanya bisa tidur sebentar. Entah kenapa alasannya. Yang pasti seperti ada rasa yang meledak ledak dalam dirinya sehingga membuatnya sulit tertidur.
Hinata mengambil ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan.
'Aku di Berlin'.
Setelah itu Hinata menatap jendela lagi. Menikmati aktivitas masyarakat lokal dipagi hari yang sedang berlalu lalang. Sepagi ini pun manusia memulai kesibukannya untuk mengejar hidup nyaman. Mereka rela mengkesampingkan keinginannya dan menundanya diakhir cerita. Bukankah manusia seperti itu? Lebih baik merasakan pahit terlebih dahulu supaya akhirnya merasakan manisnya. Mengapa kita tidak memberikan pilihan untuk diri kita merasakan manis terus menerus? Tapi hanya satu banding seribu yang berani berbuat seperti itu.
"Tumben bangun duluan. Gak sabar ketemu Sasuke yaa" Hinata hanya menggeleng dan meminum kopi buatannya.
"Kau sudah hubungi dia bahwa kita disini kan?" Tanya Temari.
"Sudah tapi dia tidak membalas" jawab Hinata.
"APA? Dia tidak membalas?" Hinata mengangguk.
"Kau telepon dia kalau begitu. Kita sudah jauh jauh kesini. Awas saja kalau dia tidak mau bertemu dengan kita" Hinata menatap kopinya dan terdiam sebentar.
"Kita temui dia dikampusnya saja" usul Hinata.
"Ya sudah"
Mereka mulai bersiap siap. Setelah itu mereka menuju ke kampus Sasuke sesuai informasi dari Hinata. Sepanjang jalan perempuan itu hanya diam. Temari sedikit khawatir apa Hinata sedih karena Sasuke tidak menjawab pesannya. Padahal sahabatnya itu sudah jauh jauh kesini untuk bertemu dengan Sasuke.
"Heiii!! Tersenyumlah, sebentar lagi kau akan bertemu dengan pangeranmu itu" Hibur Temari.
"Mungkin dia sedikit sibuk jadi tidak sempat membaca pesanmu" Hinata tersenyum dan mengangguk.
Mereka tiba digerbang kampus. Temari memandang Hinata yang tidak beranjak masuk.
"Ada apa?" Tanya Temari.