Prolog

36 3 0
                                    


Tangerang, Banten



Laki-laki itu sibuk mengemasi barang-barangnya. Semua sudah mulai tertata rapi dalam koper berwarna hitam. Hari ini dia akan berangkat merantau sendiri.

Disampingnya seorang laki-laki berumur tak jauh darinya menatap dengan selidik dan sedikit raut kekhawatiran, laki-laki itu berdecak sambil melipat tangannya didepan dada.

"Kumaha Barudak?"

"Well"

"Ish! Gue nanya beneran" laki-laki itu berdecak kala mendengar jawaban sang adik.

"Naon?"

"Lo beneran mau ke sana?" tanyanya kepada sang adik dengan raut khawatirnya.

"Ho'oh, mau ikut lo" Laki-laki Itu menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari barang-barang didepannya.

"Kenapa harus ke Jawa Timur sih, emang gak kejauhan?" tanya sang Abang lagi.

"Gue ini anak laki bang, udahlah gue kan mau nyari pengalaman baru" jawabnya sambil menaik turunkan alis tebalnya dan tersenyum jahil, mencoba meyakinkan.

"Pengalaman baru lo bilang, bilang aja mau ngebet cewek biar gak ketahuan Ibu"

"Apa sih lo, ya kagak lah"

"Hilih, muka-muka lo nih udah mencerminkan buaya sejati tau gak lo!"

Bukan apa, pasalnya Adik satu-satunya ini mempunyai sifat sama dengannya, yaitu hobi banget godain cewek-cewek cakep. Ya salah dia juga si, Adiknya begitu kan yang ngajarin dia sendiri. ckckck meresahkan.

"Kumaha anjeun weh bang, bilang aja lo iri sama muka ganteng paripurna gue"

(Terserah kamu aja)

Laki-laki itu menjawab dengan logat Sundanya.

Mereka memang punya hobi sama-sama buaya, tapi hal itu bukan tanpa alasan, salah satunya karena wajah paripurna mereka yang sudah diakui masyarakat setempat yang katanya udah mirip kokoh Cindo.

Jadi mereka memanfaatkan wajah tampan mereka dengan baik yakni menggoda para wanita-wanita Cantik. Kan sayang Tuhan udah ngasih muka cakep gak dimanfaatin kata Seorang kakak kepada adiknya pada pagi hari yang cerah setelah mereka Jogging.

"Idih, dimana-mana juga lebih gantengan gue daripada lo" jawabnya tidak mau kalah.

"Pede"

"Kok jadi pada berantem sih!" sang ibu yang sudah sangat profesional mendengar keributan dua bujangnya, masuk kedalam kamar menghampiri kakak beradik itu.

"Eh, ibuku sayang" sahut sang kakak, cengengesan saat ibunya menatap dengan kesal.

Tidak mengindahkan raut menyebalkan Putra sulungnya, ia membantu sang bungsu yang kelihatan sudah hampir selesai mengemasi barang-barangnya.

"Nanti kamu mondok aja ya," ucap sang ibu, itu bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan.

"Lah kok mondok sih" jawab si bungsu.

"Udahlah nurut aja kenapa sih, lo tuh masih bocah" saut Abangnya

"Enak aja bocah, tahun ini gue masuk SMP tau" jawabnya seolah merasa paling dewasa.

"Yayaya percaya Abang mah" jawab lelaki itu dengan raut paling menyebalkan.

"Yakan kamu mau sama siapa disana kalo gak mondok?" tanya ibunya lagi, mencoba meyakinkan.

"Kan aku bisa ngekost bu"

"Ngekost nya kalo udah masuk SMA aja" ibu kembali meyakinkan si bungsu yang terkenal lumayan bandel.

Setelah berpikir sejenak, dia mengiyakan pernyataan sang Ibu. Dia masih SMP mau merantau sendiri, walaupun ini pilihannya sendiri yang ingin merantau tapi dia juga berfikir bukankah lebih baik dengan belajar ilmu agama.

*****


Semua barang sudah dimasukkan kedalam bagasi, mereka berempat akan pergi di pagi hari yang cerah ini.

Mobil mulai dinyalakan, perjalanan berlangsung sekitar 1 jam 30 mnt.

Duo bujang ayah dan ibu sibuk dengan urusan masing-masing, satunya sedang mengabari sang Pacar, satunya lagi terlihat sedang menikmati perjalanan, yah untung saja hari ini tidak terlalu macet.

"Kamu rencana mau mondok dimana?"
suara Ayah yang pertama memecah keheningan didalam mobil itu.
Membuat atensi si bungsu langsung teralihkan yang tadinya sibuk membaca plang nama jalan.

"Hmmm enaknya dimana yah?" Bukannya menjawab si bungsu malah balik bertanya.

"Yee ditanyain malah balik nanya" seru si sulung setelah tadi sempat mendengar percakapan antara ayah dan adiknya.
Acara tukar kabar yang dilakukan minimal sehari 3 kali dengan pacarnya sudah selesai, hah... udah kayak minum obat aja 3 kali. ckckck anak muda

"Sebenarnya aku ada satu pondok sih yang aku tertarik kesana, tapi gapapa emang Yah, Bu?" tanyanya meminta persetujuan

"Ya kalo ayah sih boleh-boleh aja, asalkan kamu niatnya baik"

"Ada sekolahnya gak?" Ibu bertanya, setelah dari tadi sibuk menonton shopee live.

"Ada, cuma gak satu yayasan gitu, jadi sekolahnya tuh beda tapi lumayan deket kok"

"Beneran, kalo berangkat sekolahnya gimana?" sang kakak kembali bertanya dengan nada meremehkan.

Sebenarnya dia kurang setuju dengan pilihan adiknya yang ingin merantau.

Saat itu tepat setelah ujian kenaikan kelas dilakukan, keluarga kecil itu menikmati makan bersama dirumah seperti biasa, Ayah yang tahu anak bungsunya akan segera lulus bertanya akan melanjutkan kemana, diluar perkiraan seluruh keluarga pernyataan si bungsu malah ingin pergi merantau. Hal itu bahkan sempat membuat sang kakak tersedak sampai muntah.

Namun ternyata si bungsu memilih merantau bukan tanpa alasan, ada satu hari dia mengikuti pengajian di kompleknya dan saat itu ulama' yang sedang menyampaikan pendapat menyerukan untuk pergi merantau selagi masih muda.

Begini katanya

"Merantaulah, aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak akan keruh menggenang"

Ulama memang sangat menganjurkan untuk merantau agar dapat menambah proses pendewasaan dan menambah pengalaman.

"Merantaulah, karena dengan merantau akan banyak sekali pelajaran hidup yang datang sehingga dapat menjadikan seseorang menjadi lebih kuat dalam menerima takdir-takdir Allah"

Si bungsu yang masih berumur 12 tahun, yang masih sangat mudah terpengaruh langsung bertekad ingin pergi merantau sendiri. Awalnya ia hanya ingin bersekolah tapi ibunya menyuruhnya mondok jadi ya sudah, masih mending dibolehin.

"Jalan kaki bisa"

"Ke pondok kamana dek?"

"Pondok Al-Ikhlas Jombang"

  
                                                                2017

Letter to D Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang