Mencintai itu seperti sebotol alkohol. Candu, manis, dan memabukkan. Begitu juga dengan rasa sakit yang ditimbulkan setelah perpisahan oleh rasa menyenangkan tersebut. Alexis Ness merasakan bagian terakhir dari akhir cintanya karena ulahnya sendiri, dia terobsesi, terlalu mengekang kebebasan kekasihnya, dan terlalu posesif. Karena ketiga hal itu membuat sang kasih, Name meninggalkannya. Sendirian.
'Dasar brengsek! Kamu itu terlalu obsesi dengan Name! Sadar diri bajingan!'
'Kamu cinta dia, tapi dia tidak akan pernah bisa jatuh cinta dengamu lagi! Laki-laki tidak tahu diri!'
'Pria seperti kamu itu lebih pantas mati daripada hidup di dunia ini! Kamu hanya mengotori dunia dan juga Name!'
'Mati sana! Mati!'
Dia selalu mendengar makian dari mulut orang lain, sejak kejadian dimana dia mengekang Name terlalu keras, dia jadi lebih sering mendapatkan kemarahan dari orang-orang asing, mereka bahkan tidak tahu apa yang terjadi sebelum itu, mereka hanya tahu dari luarnya tanpa mencari tahu apapun.
“Aku hanya ingin dia bahagia, aku ingin dia aman bersamaku. Tapi rasanya, apa yang aku lakukan di mata orang lain selalu salah. Was soll ich machen? Aku tidak tahu...”
Menyesal? Tentu, dia sangat menyesal karena memperlakukan Name layaknya boneka kayu, Name juga manusia biasa, rapuh, polos, sangat membutuh perlindungan dan kasih sayang dari kekasihnya sendiri. Ness merenungi nasibnya sendiri, tingkahnya, begitu juga dengan cinta yang berlebihan yang dia miliki untuk sang kasih.
Berdiri di depan pintu rumah kekasihnya, dan sudah tiga jam berlalu, Ness masih berdiri tegak dengan wajah yang tertunduk. Sedih, kesal dengan dirinya sendiri, cemas, takut dan rasa tidak nyaman lainnya telah menggerogoti hatinya. Jika Tuhan berkehendak, dia ingin memutar waktu, waktu dimana dia bisa bersama sang kasih, waktu manis yang selalu dia berikan selama dua tahun terakhir, dan waktu dimana dia bisa merasakan pelukan hangat dari tubuh mungil sang kasih.
Suara ketukan pintu, diiringi dengan hujan dan suara-suara petir yang menggelegar di atas langit, membuat suasana diluar sana menjadi sangat mengerikan. Pakaiannya sudah sangat basah, tubuhnya menggigil, wajahnya pucat pasi ketika dia terus mengetuk pintu rumah kekasihnya.
Sebuah isakan pelan keluar dari bibirnya, dia tidak sanggup menahan rasa sakit ini. Sangat tidak nyaman, dia membencinya. Tapi, semua ini adalah resiko atas apa yang dia lakukan.
“Name, aku mohon. Buka pintunya, aku ingin berbicara denganmu, tentang hubungan kita...” Tangannya yang gemetar hebat terus mengetuk pintu rumah kekasihnya. Dia ingin mendobraknya, tapi dia tidak ingin membuat Name semakin menjauhinya.
Ness mengangkat kepalanya, ketika dia mendengar sebuah langkah kaki kecil dari dalam rumah Name. Dia bahagia, tapi dia harus menahan rasa bahagia itu dalam-dalam.
Pintu terbuka sedikit demi sedikit, dari celah pintu itu, dia melihat kekasihnya yang telah menjauh darinya selama seminggu terakhir ini. Ness tidak tahu harus bereaksi seperti apa, dia terkejut, begitu juga dengan perasa sesal yang mendalam ketika dia melihat Name. Tubuhnya begitu kurus, jejak air mata masih membekas di pipi manisnya.
Entah apa yang Ness pikirkan, dia mendekatinya, mencium keningnya dan menyeka pipi Name yang masih basah karena air matanya. Sedangkan, Name tidak tahu harus berbuat apa, dia lelah, dia ingin istirahat dari semua yang telah dia lalui saat ini dan dua tahun lalu. Tubuhnya bergetar, suara isak tangisnya terdengar jelas di telinga Ness.
Yang bisa dia lakukan hanyalah merengkuh tubuh mungilnya kedalam pelukan hangat dan nyaman. Lembut, rambut Name terasa sangat lembut seperti biasa, usapan demi usapan dia berikan di kepala sang kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
One-shoot AU - Blue lock x Fem! Reader.
Short Story- This is just my fictional story. - OOC. - Karakter milik Muneyuki Kaneshiro and Yusuke Nomura⚽ - Warning 🔞🚩