2

119 47 262
                                    

Ara duduk di sudut paling belakang ruang tahanan sembari memeluk erat lututnya. Kemudian seorang polisi membuka pintu sel. "Mbak Ara ada yang menjenguk."

"Palingan kakak saya," duga Ara. "Suruh pulang aja, deh." Ia enggan menemui sang kakak. Masih marah, dan kini bercampur malu.

"Anda harus menemui mereka. Meski hanya sebentar." Polisi itu membujuk Ara baik-baik.

Ara pun bangkit dari duduknya, dan menemui tamu yang dimaksud.

Memang benar yang datang adalah Bimo. Dia tidak sendiri. Datang bersama Ibil.

Bimo langsung memeluk Ara. "Ra, kamu baik-baik aja, kan? Kakak sudah sering bilang, jangan mencopet. Liat nih, akibatnya." Rasa cemas menyelimuti jiwa dan raganya.

Dengan ketus, Ara berkata, "Udah selesai jenguknya? Ara masuk dulu. Permisi." Ia masuk kembali ke ruang tahanan.

"Ara..." Bimo sangat sedih akan sikap keras kepala Ara ini.

Ibil menepuk pundak Bimo. "Yang sabar ya, Bim..."


Beberapa hari kemudian, digelarlah kasus perkara kriminal anak jalanan. Kasus Ara hanyalah salah satunya. Hakim memutuskan, Ara harus menjalani hukuman dalam penjara, selama empat bulan.

Dengan entengnya, Ara berkata di depan hakim. "Lumayan. Empat bulan makan gratis. Meski rasanya gak enak." Kata-katanya menciptakan beragam reaksi orang yang mendengar. Ada yang prihatin, ada yang mencemooh.

*

Kasus pencopetan yang dilakukan Ara memang kasus biasa. Banyak terjadi. Namun sikap Ara saat di tahanan, pengadilan, dan kini di lapas menarik perhatian seorang wartawan situs berita daring.

Suatu siang, seorang pemuda sedang bingung mencari sebuah alamat rumah. Suhu panas siang itu, tidak dipedulikannya. Pemuda itu namanya Ray. Dialah wartawan tersebut.

Akhirnya Ray menemukan yang dicarinya. Ia sedang mengumpulkan informasi kriminal, tentang ditangkapnya seorang gadis pencopet. Ia menemui seorang nara sumber. Seorang ibu-ibu di kompleks pemukiman kumuh. Dari wanita yang juga pemulung itu, Ray mendapatkan informasi.

"Sebenarnya, dia anak yang baik," ujar wanita tersebut. "Cuma... mungkin karena himpitan ekonomi."


Selesai wawancara, Ray ke kantor polisi, guna mengumpulkan informasi langsung dari si pencopet. Di kantor polisi itu, Ray punya sahabat. Namanya Anton. Ia mendapat kabar, bahwa polisi yang menangkap copet tersebut, ya sahabatnya sendiri ini.

"Orangnya agak aneh," seloroh Anton. "Gue akan anterin lo ke lapas supaya bisa masuk dengan aman dan gak dipersulit sama orang di dalem."

"Oke. Thanks, ya," ucap Ray.


Satu jam kemudian, Ray sudah duduk di dalam sebuah ruangan, tempat menjenguk narapidana. Ia melihat seorang gadis digiring petugas, masuk ke ruangan. Gadis itu duduk di hadapan Ray.

"Hai!" sapa Ray pelan, sopan, dan lembut pada gadis tersebut. Bukannya dapat balasan yang baik, gadis itu malah menatap Ray dengan tatapan kurang nyaman. Hawa yang dibawanya juga kurang menyenangkan. Namun sikap itu tidak lantas membuat si wartawan menyerah. "Namaku Ray. Kamu... Ara, 'kan?"

Ya. Dia memang Ara. Tetapi gadis itu sama sekali tidak menggubris Ray.

Masih dengan stok kesabaran yang lumayan banyak, Ray berkata lagi. "Mau minum apa? Atau... mau makan? Aku pesenin."

Ara terus menatap Ray. "Sebenernya lo mau apa? Kalo gak ada perlunya, gue mau balik masuk." Dia kemudian berdiri. Hendak memanggil sipir yang menggiringnya tadi.

Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang