19

3 1 0
                                    

Terlalu khawatir, Ray tidak mau berpikir lagi. Ia mengambil kunci mobilnya, dan segera pergi ke rumah sakit yang Sofi sebutkan. Anton dan Nindy segera menyusulnya dengan mobil sendiri.

Puas. Itulah yang Sofi rasakan dari hasil ceritanya kali ini.

*

Ara merasa aneh dengan penyakitnya, dan sikap Damon yang begitu luar biasa memperhatikan dirinya. "Sayang, aku mohon... katakan yang sebenarnya. Aku nih sakit apa, sih?"

Damon mengusap lembut kepala Ara. Berusaha tersenyum, menyembunyikan kegetiran hatinya dengan berbohong. "Kan aku udah bilang, kandungan kamu lemah. Semua pengobatan ini untuk kebaikan anak kita, Sayang."

Ara masih tidak percaya dengan penjelasan Damon yang terdengar lebih mudah dari yang ia rasakan pada tubuhnya sendiri. "Tapi, kenapa lama banget tinggal di rumah sakitnya? Kenapa aku sering sakit kepala dan mimisan? Rambut aku rontok kayak gini. Trus, obatnya kok banyak banget? Apa... aku sakit parah? Apa... aku akan mati?"

Haruskah Damon berterus terang? Tidak, belum saatnya. Ia segera memeluk Ara. "Udah, kamu jangan tanya yang aneh-aneh. Yang penting, kamu bisa sembuh."

Tiba-tiba... "Lo emang brengsek, Damon!" Ray muncul di ambang pintu. Di belakangnya ada Anton dan Nindy. Ray masih belum selesai memarahi Damon. "Lo bilang, akan jaga Ara dengan nyawa lo! Tapi, sekarang apa yang terjadi? Ara jatuh sakit! Celakanya, dia hampir mati gara-gara lo! Gimana bisa dia kena leukimia limfoma? Emang lo apain dia?!"

Ara menatap Damon dan Ray. Ia menangis. "Aku... aku sakit apa?" Dirinya terkejut mendengar apa yang keluar dari mulut Ray.

Damon langsung memeluk Ara. "Engga, Sayang. Kamu gak usah dengerin Ray. Kamu cuma terlalu capek. Kandungan kamu lemah."

Ara masih menangis. "Tapi, dia bilang aku akan mati..."

Damon semakin erat memeluk Ara. "Itu bohong, Sayang. Ray itu salah denger kabar. Kamu akan baik-baik aja. Gak akan mati."

Ray yang tidak tahu apa-apa itu makin kesal. Ternyata Damon tidak membiarkan Ara mengetahui penyakitnya. "Lo emang keterlaluan ya, Mon! Ara, kamu ini sakit limfoma stadium empat. Kenapa kamu gak dibolehin tahu? Ini penyakit kamu. Kamu harus tahu itu."

Damon melepaskan pelukannya, lalu bangkit menghadapi Ray. "Cukup, Ray! Lo gak tahu apa-apa! Mendingan lo pergi dari sini! Biar Ara bisa istirahat."

Ara mencoba bangkit dari tidurnya. Ia turun dari ranjang. "Apa bener, aku sakit leukimia, Sayang?" Ia tidak mampu berdiri. Kedua kakinya begitu lemah. Saat hampir jatuh, Damon menolongnya kembali ke ranjang. Air matanya kian berderai. "Sayang, kamu bilang aja. Aku gak papa."

Damon menatap Ara. Memang sudah saatnya mengatakan yang sebenarnya. "Iya. Kamu menderita limfoma stadium empat."

Ara menangis dalam pelukan Damon. Tangis yang memilukan.

"Maaf, aku gak ingin kamu sedih dan kepikiran," aku Damon. "Itulah sebabnya, aku gak ngasih tahu kamu. Aku minta maaf."

Nindy tidak bisa menahan laju air matanya sendiri. Ia ikut menangis. Tragis sekali nasib Ara. Sampai butuh dipeluk oleh Anton.

"Ray, lo udah denger, kan?" Anton ingin Ray berhenti marah-marah. "Alasan Damon merahasiakan penyakit Ara."

Kedua lutut Ray lemas. Ia menyesal. Namun semua kata sudah terlanjur terucap.

"Seharusnya, lo tanya dulu baik-baik." Ganti Anton mengomeli Ray. "Baru dipikir, apa tindakan lo. Jangan langsung main bentak dan labrak gitu!"

*

Sedangkan Gunawan, ia telah menjalani tes kesehatan. Apakah cocok untuk melakukan pencangkokan sumsum tulang belakang? Ternyata hasilnya TIDAK COCOK. Usianya sudah melebihi batas syarat baik untuk melakukan donor sumsum tulang belakang. Yakni antara 18-44 tahun. Sementara Gunawan sendiri sudah berusia di atas 50 tahun. Tentu saja ia merasa sedih. Kalau bukan dirinya, berarti Novia atau Damon. Ia segera menemui Damon.

Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang