1

267 89 593
                                    


Seorang gadis dengan sekuat tenaga melarikan diri dari kejaran segerombol orang. Memasuki gang, melewati jalanan sepi, semua jalan yang dapat meloloskan dirinya, ia tempuh. Pemudi bertopi merah itu, membawa sesuatu di tangannya. Apa itu?

"Hey! Jangan kabur!" teriak para warga yang mengejar. "Copet! Copet!"

Rupanya, si pemudi membawa lari dompet hasil copetannya. Apes! Dia kepergok. Dia berlari menelusuri gang-gang sempit nan kumuh. Hingga akhirnya terpaksa sembunyi di dalam tong sampah yang baunya cukup sulit dideskripsikan. Dia pun lolos dari kejaran mereka, yang mengiranya kabur ke jalan raya. Lokasi pencopetan itu di sebuah pasar tradisional yang ramai dengan interaksi jual beli.


Pemudi itu adalah Ara. Gadis berusia 19 tahun, yang agak tomboi, tapi selalu menyadari kodratnya sebagai wanita. Kehidupan yang miskin, juga lingkungan yang keras, mengajarinya untuk menghalalkan segala cara, demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Contohnya  dengan mencopet. 

Seperti kali ini, Ara sangat ingin punya baju baru untuk tahun baruan minggu depan. Karena tidak punya uang, dia pun mengerahkan keahliannya, yaitu mencopet. Kerja dua jari, hasilnya sepuluh jari. Benar saja, sebuah dompet tebal muncul dengan berani dari tas belanja seorang ibu. Ara sudah menyiapkan dua jarinya--telunjuk dan jempol. Pelan, tapi pasti, dompet itu pun keluar mulus dari tas tersebut. Ternyata, si pemilik dompet merasa ada yang menarik sesuatu dari tasnya. Sebelum si ibu berteriak, Ara sudah lari. Begitu terdengar teriakan "Copet!" Ara sudah jauh. Sehingga bisa lolos dari kejaran warga dengan mudah. Pernahkah Ara tertangkap gara-gara pekerjaannya ini? Belum pernah! Dirinya memang seperti kancil yang selalu lolos dari berbagai lubang yang hendak mengancamnya jatuh.

Ara pulang ke rumahnya yang sangat kumuh. Terbuat dari berbagai benda semi permanen. Ada dinding triplek yang sudah lapuk, seng yang banyak berkarat. Berdiri di bantaran sungai, dan dikelilingi bergunung-gunung sampah, hasil limbah hampir semua warga se-Jakarta Selatan. Jika sudah banjir, ya bisa saja rumah itu ikut hanyut, atau lebih menyesakkan lagi, bisa dapat timbunan sampah yang hanyut dari tempat lain. Kalau sudah begitu, dia akan ikut orang-orang mengungsi ke tempat aman. Kemudian membangun ulang rumah semi permanen itu.


Bimo melihat Ara pulang membawa sesuatu, yang dibungkus kantong keresek hitam. "Apaan tuh?" tanyanya. Bimo yang bekerja sebagai pemulung sampah, bukan tidak tahu dengan kelakuan sang adik.

Dengan bangga, Ara menjawab, "Oh, ini baju baru untuk tahun baruan." Dia mengeluarkan isi  kantong kereseknya, dan menunjukkan baju barunya. Sebuah kaos hitam dengan tulisan-tulisan berani, dan celana pendek selutut. Gayanya Ara banget. "Keren, 'kan?" Ia begitu senang. Beberapa kali menempelkan baju itu ke badannya.

Sayang, tampang Bimo tidak ikutan senang. "Nyopet di mana lagi kamu?!" teriak Bimo.

Sebenarnya Ara juga terkejut, mendengar pertanyaan Bimo. Dari mana sang kakak tahu? "Nyopet? Engga, kok! Ara gak nyopet! Suer, deh!" Ara berkilah. Tidak mungkin dia mengatakan segalanya.

Bimo semakin marah. "Jangan bohong! Tadi, Ibil cerita ke kakak."

Ara terus saja berkilah. "Salah liat kali! Belakangan ini, ada banyak cewek yang ngikutin gaya Ara. Pake baju mirip juga. Bahkan, bikin tato mirip yang kayak di belakang kuping Ara. Kayaknya Ara udah jadi ngetrend untuk kalangan mereka. Harusnya Kakak bangga!" Ara bicara sambil tersenyum. Nyerocosin bualan yang tidak berarti untuk membela diri.

Tapi...

"Ara!!" teriak Bimo. Bentakannya itu membuat senyum di wajah gadis polos itu berubah jadi ketakutan, dan cerocosan itu juga terputus. Dia merebut baju baru yang dibeli Ara, dan merusaknya.

Dia (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang