Alarm yang terdapat pada ponsel Gita berdering tiada henti. Sedari tadi ponselnya terus berbunyi tanpa berhasil membangunkan sang pemilik ponsel. Melainkan gadis itu semakin membalut tubuh dengan selimut tebalnya.
Pintu kamar terbuka lebar, menghadirkan sang ibu di ambang pintu, menghela napasnya perlahan. "Regita Sekar, ayo bangun cantik. Mau sampai kapan kamu tidur, hm?" Sang ibu kini berjalan mendekat, mematikan alarm lalu mengusap pelan wajah Gita. "Ayo bangun. Jangan karena libur kamu jadi males begini, Gita."
Libur ini terasa sangat lama bagi Gita. Ia sangat malas untuk bepergian keluar rumahnya. Bahkan Dea pun sudah lelah mengajak Gita untuk bermain bersamanya. Terhitung ini baru hari kelima libur sekolahnya, namun Gita terus menerus berada di kamarnya. Gadis itu enggan keluar rumah. Bahkan, melangkahkan kakinya pun terasa sangat berat.
"Maaa, sebentar. Gita masih ngantuk, nanti juga Gita turun ke bawah," rengeknya memelas.
Sang ibu menggeleng pelan. "Gita, udah jam sepuluh siang, sayang. Keburu jam makan siang," jelasnya. "Oke. Mama tunggu di bawah, Mama mau bicara sama kamu." Kini sang ibu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Gita, membuat Gita terdiam, melamun.
"Sebentar ... " Gita mengerjapkan matanya beberapa kali, memastikan dirinya benar-benar sudah sadar dari tidurnya.
"Aku ada salah apa sama Mama sampe Mama mau ngobrol serius sama aku?" Kalimat tersebut ternyata berhasil membuat gadis itu langsung bangkit dari kasurnya. Ia panik karena biasanya sang ibu langsung mengatakan apa yang ia inginkan tanpa perlu menunggu Gita terlebih dahulu.
"Oke, Gita. Kamu harus bangun sekarang."
•
•
•Denting suara alat makan memenuhi seisi ruangan tersebut. Gita dan sang ibu kini makan tanpa suara. Aneh, ini terasa mencekam dan Gita tidak menyukai hal ini. Dengan cepat, Gita menghabiskan makanannya terlebih dahulu sebelum mulai membuka pembicaraan yang membuatnya penasaran.
"Um ... Ma," ujar Gita. Gadis itu meletakkan alat makannya perlahan, menghela napasnya. "Mama mau bicara apa? Gita ada salah ya sama Mama?"
Hening. Sang ibu tidak langsung menjawab, melainkan memilah kata demi kata terlebih dahulu sebelum benar-benar menjawab pertanyaan Gita. Membuat gadis itu semakin menatap lekat netra sang ibu.
"Ma? Gita beneran ada salah sama Mama?"
Beliau menggeleng pelan. "Gita," lirihnya pelan. "Kalau mama minta beberapa permintaan sama Gita, apa Gita siap menerima dan menyetujuinya?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Gita menatap dalam mata sang ibu, menelisik. Berharap ia dapat menemukan suatu petunjuk. Namun naas, ia tak menemukan apapun. Kemudian gadis itu mengambil salah satu tangan sang ibu untuk menenangkannya. "Gita siap, Ma. Apapun hal itu, kalau itu bisa buat Mama bahagia, aku siap."
Benar, apapun itu.
"Gita ... "
"Iya?"
"Apa Gita setuju kalau punya Papa?"
Jantung Gita berdegup kencang, tangannya melepas genggaman pada jemari sang ibu, tatapannya menurun perlahan. Apa ini? Tidak. Gita tidak siap. Kehidupan ini sudah jauh sangat sempurna tanpa kehadiran sosok ayah dihidupnya.
"Ma, kenapa tiba-tiba?"
"Tadi, kamu bilang bahwa kamu siap menyetujui apapun keinginan Mama, bukan? Gita, ini semua juga untuk kebaikan kamu, sayang. Memangnya kamu tega liat Mama sendirian terus kaya gini, hm?"
Ia tak habis pikir. Ia takut. Kini pikirannya kalut. Apa orang yang akan mendampingi sang ibu kelak merupakan orang yang baik? Bagaimana jika kelak ibunya disakiti oleh pria tersebut? Dan masih banyak pertanyaan lain yang hadir di dalam kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsessed (END)
Fanfiction"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana dan menyenangkan, tiba-tiba berubah menjadi mewah namun begitu menyesakkan? Mulai dari masalah kelua...