⋆˚࿔ Thirteen 𝜗𝜚˚⋆

1.5K 106 17
                                    


⋆.˚✮✧⁠◝⁠(🐶_🐰_🐶)⁠◜⁠✧✮˚.⋆

"UTAMAKAN KAISAR!!! UTAMAKAN KAISAR NAELLL!!!!"

Bugh!

"Akh! Hiks, m-maaf maa...hiks Nael m-minta maaf hiks"

Tubuh kurusnya gemetar sambil menyatukan kedua tangannya dan memohon maaf pada wanita tersebut, tapi wanita itu justru menggeram marah lalu menarik tangan Nael mendekati closet di sana.

Uhukk!! Uhukk!!

"M-maa...u-udah hiks, ampun maaa!"

Wanita itu seakan dibutakan oleh kemarahan, ia tak melihat betapa mengenaskan nya kondisi sang anak di pagi hari yang cerah ini. Tatapannya masih menyiratkan kemarahan yang sejak tiga hari lalu tak kunjung reda.

Hampir lima kali kepala Nael ditekan secara paksa untuk dimasukkan ke closet yang terisi air. Ia terus terbatuk-batuk karena air yang masuk ke hidung dan mulutnya. Permohonan maaf dan ampun nya tak digubris sama sekali oleh sosok tersebut.

"Maaaa!!! Ampun maa! Hiks...u-udah maa, Nael minta m-maaf, MAMA!!"

Brak! Brak!! Brak!!

Pintu kamar mandinya dikunci dari luar oleh sang ibu. Tak peduli seberapa keras Nael menggedor pintu tersebut, ibunya tetap menulikan pendengaran nya.

Suaranya sudah serak karena terus menerus berteriak pada sang ibu yang sekarang sudah duduk di ruang tengah seakan tidak terjadi apapun.

Sementara sang anak sudah pasrah akan kondisinya. Bibir nya pucat dengan sudut nya yang terdapat darah mengering, matanya sembab, di dahinya juga terdapat memar karena terbentuk dinding tiga hari yang lalu dan masih belum hilang sampai sekarang.

"Hiks...papa"

Nael memeluk kedua lututnya, kepalanya dibawa bersandar ke pintu yang terkunci dari luar. Matanya terpejam seraya terisak lirih, air matanya sampai kering karena menangisi hukuman sang ibu.

"Nael mau sama papa"

_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_☆_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_

Prang!!

"Astaga!"

Seorang pria yang tengah menikmati teh paginya memekik kaget saat sebuah bingkai foto terjatuh dari atas lemari. Ia segera menaruh cangkir teh nya lalu menghampiri pecahan bingkai foto tersebut dengan perasaan tak enak yang mulai menyelimuti hatinya tanpa peringatan.

Ia memungut pecahan kaca tersebut satu persatu dengan hati-hati. Pergerakannya terhenti saat melihat selembar foto tiga orang anak laki-laki di dalam gambar tersebut.

Dua anak laki laki yang tinggi berdiri di belakang sementara satu bertubuh mungil berdiri di depan. Ketiganya memiliki ekspresi yang berbeda di foto tersebut, satu dengan wajah datarnya, satu dengan senyuman lembut seraya menatap anak bertubuh mungil yang sedang tersenyum lebar hingga menampakkan gigi kelincinya.

Tanpa ia sosok itu sadari, air matanya kini sudah menetes menatap foto ketiga anak tersebut. Hatinya berdenyut nyeri saat mengingat bagaimana berakhir nya kisah keluarga bahagia nya. Ia harusnya membawa ketiga anak tersebut untuk tinggal bersamanya sekarang, tapi hukum malah membawa dua anaknya menjauh darinya.

Ia berdiri dari tempatnya ketika suara ponsel di sofa mengalihkan perhatiannya. Melihat nomor tak dikenal menelfonnya, sosok itu mengernyit heran. Seingatnya hari ini karyawan kantor sudah ia liburkan semua, kenapa masih ada yang menelfonnya(?)

Everyday With Twins Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang