"Maaf, Paman."
"Sudahlah, River. Berhenti minta maaf. Paman bukannya kecewa, hanya belum siap saja. Aku tidak pernah melarang Evie buat hamil. Aku justru senang kalau aku akan punya cucu dalam waktu dekat. Tapi yang kamu tahu, aku hanya belum siap saja." Dierja tersenyum tipis. Ia menyuruh River agar duduk disampingnya. "Aku memiliki Evie di umur yang masih muda. Dan saat itu, aku berjuang juga meningkatkan pengalamanku di dunia politik. Aku berjuang mati-matian membangun partai dari nol. Semakin lama aku semakin sadar kalau aku terlalu lama meninggalkan keluarga demi karir."
River mendengarkan cerita itu baik-baik. Ia memandang pemandangan langit malam di balkon rumah pribadi keluarga Winareksa. "Tapi Eden sudah berumur 20-an. Dia tergolong dewasa dan cukup umur untuk memiliki anak. Aku tahu kalau Paman mencemaskan Eden akan merasakan nasib yang sama. Ada aku yang akan menjaganya. Aku juga tidak akan membiarkan Eden membesarkan anakku sendiri. Meskipun kelak aku juga akan sibuk sebagai anak presiden dan maybe jadi ketum baru partai, aku akan berusaha meluangkan waktu untuk mereka berdua."
Beban-beban yang dipikul Dierja langsung menguap begitu saja. Ia tersenyum bangga sambil mengelus bahu River pelan. "Paman lega karena punya kamu, River."
"Itu sudah tugasku, Paman."
"Jadi mimpi itu memang sebuah pertanda. Rasanya tidak mungkin aku memimpikan hal yang sama dua kali," sahut Dierja terkekeh.
"Maaf berbohong waktu itu. Aku memang rada kaget karena Paman yang bilang belum ingin menjadi kakek. Sedangkan aku dan Eden—"
"Sudah melakukannya, kan?" potong Dierja cepat.
"Ya... seperti itu," ujar River kikuk. Ia menelan ludahnya gugup.
"Sudah terjadi juga. Aku memang tidak mewajarkan perbuatan kalian karena belum menikah. Tapi aku maklumi kali ini karena setidaknya kalian punya status yang mengikat. Kamu tahu kalau yang kalian lakukan itu salah, kan?"
"Tahu, Paman."
"Aku tetap punya hukuman. Selama seminggu kedepan, kamu tidak boleh bertemu Evie. Sementara ini Evie akan kembali ke rumah. Renungkan kesalahan kalian. Setelah itu aku membiarkan kalian tinggal bersama lagi sampai menikah nanti."
"Lalu kalau Eden ingin sesuatu bagaimana? Kalau dia menangis karena ada petir gimana? Eden juga tidak bisa tidur tanpa memakai pakaianku." River rada keberatan. Ia bisa menerima hukuman lain asalkan tidak yang ini. Mana sanggup ia berjauhan dengan Evie selama seminggu?
"Biar Paman dan Al yang mengurusnya. Ada Guntur, Taruna, dan Anna juga. Banyak orang disini yang akan memenuhi ngidamnya Evie. Kalau kamu mengaku salah, terima hukuman ini."
River menunduk dalam dan menghela nafas panjang. Ia memang mengaku salah, dan akan mencoba menerima hukuman ini. Toh, hanya seminggu. Ia masih bisa bertelepon dan video call. Masih banyak cara untuk berkomunikasi dengan Evie selain bertatapan langsung. Ya, ia pasti bisa. Hanya seminggu.
Ayolah, itu waktu yang singkat.
"Baik, aku menerimanya."
Dierja mengangguk setuju. "Terimakasih sudah mau mengerti."
*********
Evie duduk termenung di kasur. Matanya berkaca-kaca. Tidak bertemu River selama seminggu? Oke, ia tahu itu hukuman. Evie juga menerimanya karena sadar ia juga salah. Tapi tetap saja, ia tidak bisa berjauhan dengan River. Laki-laki itu pulang begitu saja saat ia tertidur. Dan Evie yakin pasti Dierja yang menyuruhnya agar ia tidak dibangunkan. Ia melipat kedua kakinya dan menunduk. Tiba-tiba ia merasakan rasa rindu yang luar biasa. Rasanya begitu sesak. Ia ingin bertemu River, memeluknya erat, dan memakai bajunya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take A Chance With Me
Teen Fiction[Hartawan-Lukito Series #1] - Bisa dibaca terpisah. River dan Evie sudah bertunangan sejak mereka kecil. Mereka hanya selisih setahun saja. Dan pertunangan itu ada karena bisnis diantara dua keluarga. Keluarga Winareksa yang memang sangat berjasa a...