River di ruangannya semakin pusing. Ucapan Krisna membuatnya berpikir keras. Anak haram Arsyadi.. ada di sekitarnya? Siapa? Itu tidak mungkin. Pasti ini akal-akalan Krisna saja agar ia bisa mencari sosok anak haram itu. Kalaupun memang disekitarnya, River akan cepat tahu. Ia punya banyak koneksi. Dan ia anak presiden. Mustahil ia melewatkan satu informasi penting.
"Cari lagi! Kalian aku bayar mahal tapi tidak bisa bekerja dengan benar? Kalian juga kecolongan!" teriak River murka. Ia menggebrak meja dengan kasar didepan Fadil yang menunduk kaku. "Bagaimana bisa Pak Krisna mengetahui kehamilan Eden dan statusnya sebagai tunanganku? Bukankah aku meminta kalian agar rahasia ini tidak diketahui oleh orang luar? Kalau terjadi apa-apa sama Eden, kalian mau tanggung jawab?!"
Fadil dan kedua anak buahnya hanya bisa meminta maaf. "Maaf, Pak. Kita lalai."
River melepas kacamatanya lelah. Presiden yang akan lengser itu—mengetahui rahasia yang ia kubur rapat-rapat. "Selidiki lagi! Semua tentang Arsyadi dan asisten pribadinya, cari sampai ke akar-akarnya! Anak haram itu, harus kita temukan. Kalian paham?" amarah River ada di puncak sekarang. Ia benar-benar kehabisan kesabaran.
"Baik, Pak."
"Sana keluar."
Fadil membungkuk sopan lalu pergi keluar diikuti kedua anak buahnya. River memijit pelipisnya sendiri. Kepalanya terasa mau pecah. Baru saja hendak memejamkan mata, suara ketukan pintu membuatnya mendongak.
"Papa, boleh aku masuk?" Evie mengintip sedikit dan meneguk ludah melihat keadaan kamar yang berantakan
Senyum River naik. "Boleh, sayang. Masuk saja."
Evie membuka pintu sedikit sambil menyembulkan kepalanya. Terlihat ragu ingin masuk dan itu tertangkap oleh penglihatan River. "Kenapa takut?" melihat ekspresi Evie sekarang sukses membuatnya terusik. Ia melangkah mendekat tapi justru Evie malah mundur dan hendak menutup pintu.
"Jangan mendekat!" cicitnya bergetar. Tatapan River terlihat beda.
"Eden, dengerin aku dulu." River mencegah gerakan Evie dan membuka pintunya lebar. Menarik tangannya lembut untuk masuk lalu menutup pintunya lagi. "What's wrong, little toddler? Are you okay?"
"Kamu kenapa... marah?" lirih Evie. Jari-jarinya bertaut dengan gelisah.
"Aku? Marah? Apa sekarang aku terlihat marah sama kamu?" River menunduk. Mengelus sisi wajah Evie dengan memuja. "Ah, kamu takut karena ini? Kamu mengira aku marah padamu, ya?"
"Apa Fadil melakukan kesalahan? Kenapa kamu semarah itu?" lirih Evie lagi. Matanya sudah berkaca-kaca.
Tatapan River berubah. "Kamu mendengarnya?"
Evie mengangguk pelan. "Suara gebrakan meja, terdengar sampai luar."
River menghela nafas pelan. Merutuki dirinya yang kurang hati-hati. Kenapa ia bisa sampai lupa kalau Evie tinggal di apartemennya? Tidak seharusnya ia terlalu marah tadi. Evie bisa mendengarnya.
"Maafkan aku. Kamu takut?"
"Aku takut.." dan isakan kecil mulai keluar. Langsung saja Evie ia tarik ke dalam pelukan. Memeluknya erat karena tunangannya memang tampak ketakutan. Tubuhnya sedikit menegang.
"Aku tidak akan marah padamu. Jangan takut." tubuh Evie ia angkat. Menggendongnya ala koala seperti biasa lalu membawanya ke balkon. Duduk di kursi dengan Evie di pangkuannya. "Besok hari perayaan kehamilanmu. Jadi, jangan sedih lagi."
"Aku tidak sedih. Aku hanya membayangkan sedang ada di posisi Fadil. Dan itu membuatku takut sampai aku ingin pergi darisini."
River makin mengeratkan pelukannya. "Aku tidak akan seperti itu. Aku janji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Take A Chance With Me
Fiksi Remaja[Hartawan-Lukito Series #1] - Bisa dibaca terpisah. River dan Evie sudah bertunangan sejak mereka kecil. Mereka hanya selisih setahun saja. Dan pertunangan itu ada karena bisnis diantara dua keluarga. Keluarga Winareksa yang memang sangat berjasa a...