37. Scared

443 58 6
                                    

"Ada yang salah? Seharusnya Bapak tidak gegabah. Kenapa harus anak bocah ingusan itu yang harus jadi ketum masa depan? Bapak melupakan semua jasa saya terhadap partai ini?" Budiman Kurnianto tidak segan saat dicerca oleh Dierja. Wakil Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia itu masih duduk tenang di kursi singgasananya.

"Tapi kamu melukai putriku!" sentak Dierja tajam. "River jelas lebih berpotensi dibanding kamu. Lalu aku akan membawa nama Sekretaris Jenderal partai kita—Damian Simanjuntak—sebagai wakil River nanti. Kamu memang kader senior, tapi kinerjamu buruk."

Tangan Budiman makin terkepal. "Damian si sekjen kita juga masih bocah ingusan. Dia masih berada di awal 30-an. Masuk partai juga karena menang tampang, bukan prestasi. Daripada menempatkan pemuda belum berpengalaman di struktur partai, bukankah lebih bagus memberi jabatan itu ke kader senior?"

"Jika kamu menjadi ketum, aku yakin kamu akan mengambil alih partai yang aku dirikan dengan susah payah." mata Dierja menajam. "Sebelum itu terjadi, aku harus menyingkirkanmu lebih dulu."

Budiman tersenyum kecil. Ia mengapresiasi karena Dierja mengetahui dengan apik senjata utamanya. "Yang bikin saya kagum dengan Bapak adalah, Bapak mempunyai insting yang bagus." Budiman akhirnya berdiri. Menyentuh plakat namanya yang ada di atas meja. "Tapi Bapak, kalau saya yang memegang partai ini, dijamin akan menjadi partai yang lebih besar. Kita akan terus memenangkan pilpres begitu juga pemilu legislatif."

"Lalu mengusirku dari partaiku sendiri? Dan mengklaim semua usahaku sebagai jerih payahmu? Tidak akan aku biarkan itu terjadi."

Budiman tertawa remeh. "Saya hanya ingin membawa Partai Demokrasi Indonesia menjadi lebih hebat. Ada yang salah? Bapak bisa bayangkan jika partai ini dipimpin oleh bocah ingusan?" Budiman mendekat. Menyentuh miniatur hiasan yang ada di atas meja lain. Dalam sekali jentikan, miniatur itu hancur pondasinya.

"Rakyat kita mungkin akan beralih profesi menjadi cenayang. Memprediksi butuh waktu berapa lama—Demokrasi Indonesia jatuh di tangan anak itu."

Dierja masih diam. Meski begitu, ia mulai waspada dan kehilangan kepercayaan dengan wakilnya ini. Orang yang dulu ia anggap kepercayaan, sekarang adalah musuh terbesar.

"Bapak, mari kita lihat. Siapa yang akan menang nanti. Aku atau River."





***********





"Kamu kenal Nancy, kan?"

Angelina tersenyum tipis. Ia akhirnya menyadari kenapa River mengajaknya ketemu sekarang. Ia sudah kepalang senang karena River mau menemuinya. Bahkan ia sampai berdandan cantik—siapa tahu River berpaling ke dirinya. Angelina juga siap menjadi yang kedua jika River menginginkannya.

Tapi sepertinya bukan itu.

"Mas River sudah tahu, ya? Dari siapa? Nancy cepu?" Angelina mengulum senyum. Tidak takut atau gentar meskipun sudah ketahuan.

"Tidak penting aku tahu darimana, tapi aku kecewa sama kamu."

Satu kalimat itu membuat senyum Angelina seketika lenyap. Berubah jadi ekspresi dingin dan datar di wajah cantiknya. Kalimat yang begitu menusuk dan mencoreng harga dirinya. Angelina mendongak untuk menatap River yang juga menatapnya dengan tatapan penuh intimidasi.

"Aku pikir kita satu kelompok. Karena Ayah kamu adalah wakilnya Ayahku. Seperti orangtua kita yang akan bekerja sama memimpin negeri selama 5 tahun ke depan, aku berharap kita juga bisa begitu. Tapi rupanya aku salah besar." River menunjukkan rekaman CCTV di ponselnya. Sebuah video dimana Angelina membeli sebuah kartu nomor baru.

"Bartender yang sempat aku pukuli di bar Santa Monica, mengaku disuruh oleh seorang perempuan lewat nomor tidak dikenal. Mungkin kamu melupakan kekuatan yang aku punya. Aku bisa melacaknya sampai ke akar-akar, dan menemukan ini. Sungguh timing yang pas kamu membeli nomor baru disaat Eden dan teman-temannya pergi ke sebuah bar. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan benang merahnya."

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang