38. A Plan

392 44 7
                                    

Ditengah isu politik dunia dimana Indonesia yang jadi sorotan, Malik Hartawan sudah muncul kembali ke publik dengan telinga yang diperban. Tentu dunia bertanya-tanya siapa pelaku yang melukai presiden terpilih itu. Karena kasus ini baru pertama kali di Indonesia, tentu menjadi berita panas yang selalu dikawal perkembangan kasusnya oleh rakyat. Berbagai spekulasi dan teori konspirasi juga mulai bermunculan yang merebak di masyarakat. Tapi pemerintah masih bungkam karena menunggu informasi resmi dari pihak berwenang. Malik muncul pertama kali ke kantor pusat DPP Partai Demokrasi Indonesia.

Tapi pertemuan Malik dan Dierja ini bersifat privat.

Malik memasuki kantor DPP dan semua orang menatapnya kaget, lalu membungkuk sopan. Tak ada yang menyangka kalau Malik akan kemari—setelah insiden itu. Dikelilingi paspampres yang jumlahnya bertambah, Malik berjalan menuju ruangan dimana Dierja berada. Saat berjalan, ia berjumpa dengan Budiman Kurnianto. Laki-laki itu tersenyum sopan padanya dan tak lupa memberi salam hormat. Malik cuma tersenyum tipis. Ia tahu rencana licik orang ini yang menentang kuat rencana Dierja soal River yang akan dijadikan ketum partai masa depan.

"Apa yang membuat Bapak Malik kemari?" sapa Budiman basa-basi.

"Pak Dierja ada?"

"Ada didalam." raut wajah Budiman mulai berubah. "Saya turut sedih atas peristiwa yang menimpa Bapak. Saya berharap pelakunya segera tertangkap dan mendapat hukuman setimpal." Budiman masih menampakkan senyum penuh arti.

"Terimakasih perhatiannya, Pak Budiman." Malik berusaha tersenyum karena banyak orang yang melintas. "Saya juga berharap, Pak Budiman tidak menaruh rasa iri ke putra sulung saya."

Senyum Budiman berubah licik dan pias. "Bapak sudah tahu? Apa Pak Dierja yang memberitahu?" raut wajah Budiman tampak santai. "Tapi saya tidak main-main dengan ucapan saya. Parpol jika dipimpin oleh anak muda—saya takut akan jatuh. Saya hanya melindungi partai ini agar bisa terus merajai pemerintahan. Saya harap Bapak paham. Kalau begitu, saya permisi."

Malik mengepalkan tangannya diam-diam. Dasar waketum haus kekuasaan. Ia tidak mempedulikan itu dan segera menuju ke ruangan Dierja. Keberangkatan River dan Evie ke Jerman akan ia bahas bersama sang calon besan lusa nanti.

"Dierja?" panggil Malik setelah mengetuk pintu. Tapi yang membuka pintu justru River membuat Malik makin kaget. "Kamu ngapain disini? Sejak kapan?"

"Cuma mau ngobrol saja sama Paman. Ayah sendiri ngapain kesini?" tanya River balik. Pemuda itu tampak tampan dengan setelan kemeja rapi warna hitam putih.

"Ayah juga mau bicara ke Dierja." Malik masuk ke ruangan dan beberapa paspampres berjaga diluar—yang lain ikut masuk dengannya. Dierja yang sibuk membaca sebuah koran terkejut dengan kehadiran Malik.

"Apa sudah sehat?"

Malik tertawa kecil. "Hanya luka kecil di telinga. Aku tidak mati, Dierja."

"Luka kecil karena kamu menoleh. Coba kalau tidak, mungkin hari ini kamu sudah terkubur," jawab Dierja sarkas. Ia bangkit dari kursi kebesarannya lalu ikut duduk bersama Malik dan River di sofa. "Anakmu barusan minta maaf sampai sujud karena tidak bisa menemani Evie selama di Jerman."

River menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku sangat menyesal, Paman."

"Aku tahu. Setelah keadaan membaik, Evie bisa kembali ke Indonesia lagi. Tidak selamanya disana. Kamu juga bisa sesekali mengunjunginya. Anna juga ada rencana menemani Evie selama satu bulan pertama. Kamu tidak usah khawatir. Disana dia punya banyak sepupu karena disini dia anak tunggal yang kesepian."

"Aku mencurigai Arsyadi, tapi kenapa Mahkamah Agung sulit sekali menangkap pelakunya?" tanya Malik rada kesal. "Dia politikus senior, pasti punya power yang lebih besar dari kita. Memang tak mudah menangkapnya, apalagi kalau kita kurang bukti"

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang