22. High Tension

681 77 7
                                    

"Lo punya salep gatel, gak?"

Gladys membuka laci kotak obat dan mencari sesuatu disana. Sesampainya di villa pribadi milik Winareksa di Puncak, cewek itu segera mencari salep gatal. Lengannya sudah bentol-bentol marah karena sering digaruk.

"Cari aja disitu. Ada? Gue udah lama gak ngecek kotak obat disini," sahut Evie. Ia merebahkan dirinya di sofa saking capeknya. Padahal tadi sepanjang perjalanan dia cuma tidur. Tapi tetap capek. Efek hamil mungkin.

"Gak ada." Gladys frustasi. "Gimana ini tangan gue? Udah gak cantik lagi." Gladys mencebikkan bibir. Dan saat melihat Nancy yang lewat dengan snack di tangan, ia mendelik kesal. "Gara-gara pawangnya Reza, nih!"

Nancy yang sadar jika ia disalahkan lantas berdecak. "Lo sendiri yang nyuruh gue ngambil mangga itu. Gue gak tau ada semutnya."

"Tapi kan lo yang ngambil!"

"Iya deh, gue salah. Ayo beli obat di luar sama gue. Mau?" tawar Nancy. Ia sendiri juga mau beli jaket karena ia lupa membawa.

"Mau kemana kalian? Baru sampai malah pergi?" para cowok yang baru masuk menatap Nancy tajam. Ada koper para cewek yang mereka bawa masuk. River yang membawa koper miliknya dan Evie memilih duduk dulu di sofa samping Evie. Meletakkan kepala Evie di pahanya agar tunangannya itu lebih nyaman rebahannya.

"Beli salep gatal, buat Gladys," ujar Nancy.

"Ayo pergi sama gue. Nanti kalian nyasar lagi karena buta arah." Reza meletakkan koper diruang tamu dan mengeluarkan kunci mobil. Nancy tentu girang karena bisa pergi dengan Reza. Beda lagi kalau Gladys.

"Eh eh, kok sama lo? Gue gak mau jadi nyamuk, anjirr!" protes Gladys mentah-mentah. Serena yang keluar dari arah dapur dengan nampan berisi minuman sampai tertawa.

"Mending ajak Haikal sekalian sana biar gak jadi nyamuk," sahut Serena dengan senyum misteri. Haikal yang sibuk main game di ponsel langsung melotot.

"Apa-apaan lo nyuruh gue? Si Juan sono!" protes Haikal mentah-mentah.

"Ogah! Gue ada rencana mau main tenis meja sama River nanti."

"Sama gue aja, deh." karena malas mendengar mereka berdebat, Evie mengajukan diri. Ia berdiri dan meminta kunci mobil ke River. "Pinjem mobil kamu."

"Gak, Eden. Kamu gak boleh ikut. Biar Reza aja, kan dia cowok. Jadi dia bisa jagain yang cewek. Kamu disini aja sama aku." River menggeleng. Evie sedang hamil ada ada potensi kalau Evie dilukai lagi. Entah itu musuh politik Malik atau Dierja. Yang jelas, River khawatir. Yang memberi obat perangsang dan pelaku di mall, semuanya belum menemukan titik terang. River hanya tidak mau Evie kembali menjadi korban.

"Apotek nya deket, cuma 10 menit aja. Aku sering kesini jadi aku hafal jalan. Aku bakal aman, kok. Janji."

River terdiam. Menatap Evie yang tersenyum teduh kearahnya dengan pikiran yang berkelana. Apa Evie akan baik-baik saja? Senyum Evie yang tampak tulus itu meluluhkan hatinya. River mengangguk tipis dan mengambil kuncinya di saku celana.

"Yang nyetir jangan kamu."

"Oke, gue aja," ujar Gladys mengajukan diri. River melempar kuncinya dan ditangkap sempurna oleh Gladys.

"Serena, lo gak mau ikutan?" Juan menunjuk ke tiga cewek yang sedang memakai sepatu. Daripada jadicewek sendirian di villa ini.

"Gak, gue mau tidur. Tapi gue titip chatime satu. Nanti gue ganti uangnya." Serena menuju kamarnya dengan menguap lebar.

"Aku pergi dulu." Evie pamitan ke River. Mencium punggung tangan cowok itu—salim seperti biasa—lalu melambaikan tangan dengan senyum merekah. Setelah ketiga cewek itu pergi, Reza tampak resah.

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang