Wanita berpenampilan tertutup — pakaian serba gelap, kacamata hitam dengan topi berwarna senada— itu duduk di sudut ruangan sambil menatap ponselnya. Tempat itu sepi, juga remang. Lokasinya yang jauh dari pusat kota membuat kafe itu tidak terlalu dilirik.
Sebenarnya wanita itu tak merasa nyaman berada di sana. Tempat itu terasa kumuh, ia merasa orang sepertinya tak pantas untuk berada di tempat seperti itu. Tapi demi tujuannya, ia terpaksa harus bertahan merasakan gerah yang luar biasa, yang dirasakannya sejak awal tiba di sana. Pendingin ruangannya seperti tak bekerja. Ini benar-benar buruk untuknya. Ia sampai merasa jijik pada tempat itu.
Wanita itu menoleh ke arah pintu masuk saat mendengar suara derit pintu yang cukup untuk membuat telinga terasa tak nyaman. Ia tak perlu mengangkat tangan untuk memberitahu keberadaannya pada orang itu, karena tak ada pengunjung lain selain dirinya.
Seorang lelaki bertubuh kurus dan sedikit bungkuk itu berjalan ke arahnya. Rambutnya panjang acak-acakan. Senyum semeringah yang terukir di wajahnya yang tak terawat, dengan kilatan cahaya matanya yang menyiratkan sebuah kebahagian yang berlebihan terlihat menakutkan. Bulu kuduknya sempat berdiri melihat sosok itu semakin dekat ke arahnya. Tapi wanita itu tetap berusaha menyembunyikan rasa jijik dan takutnya terhadap orang itu.
Ya, tentu saja. Apa lagi jika bukan karena tujuannya.
"Hai," sapa wanita itu dengan suara yang dipaksakan seramah mungkin. Ia juga berusaha tersenyum manis pada lelaki itu. Jujur saja, aroma kurang sedap yang berasal dari tubuh lelaki itu membuatnya ingin muntah.
"Jung Eunji ssi, aku merasa seperti bermimpi! Aku tidak menyangka bisa duduk bersamamu seperti sekarang ini!" ujar lelaki itu dengan girang. Mulanya ia berniat duduk di sebelah Jung Eunji. Tapi karena melihat tas wanita itu sudah lebih dulu menempatinya, lelaki itu membatalkan niatnya. "Sayang sekali, aku terlambat beberapa langkah dari tasmu. Bukankah dia sangat beruntung karena bisa berada tepat di sebelahmu?"
Jung Eunji tertawa hambar, tapi rautnya berhasil ditutupinya berkat kacamata hitam yang dikenakannya.
"Jung Eunji ssi, bolehkah aku menggenggam tanganmu? Aku ingin memastikan apa aku sedang bermimpi atau tidak."
"Kau tidak sedang bermimpi," sahut Eunji manis. "Aku, Jung Eunji, memang benar-benar ada di hadapanmu sekarang."
Lelaki itu meletakkan tangan di depan dada dengan raut terharu. "Kau benar-benar cantik bagaikan dewi yang turun dari langit. Kau bahkan jauh lebih cantik jika dilihat secara nyata." Lelaki itu mulai membanjiri percakapan mereka dengan pujian-pujian yang ditujukannya pada Eunji.
Tapi Eunji tak ingin berlama-lama. Dengan sikap manisnya ia berhasil memotong ucapan lelaki itu tanpa harus membuatnya menyadari hal itu.
"Kau bilang kau memerlukan bantuanku," kata lelaki itu.
Eunji mengangguk dengan raut lesu. "Ada seseorang yang mengangguku," gumamnya lirih.
Mendengar hal itu, lelaki itu spontan memukul meja dengan keras dan berdiri dari bangkunya, membuat Eunji ikut tersentak. "Katakan, siapa orangnya? Aku akan menghabisinya!" serunya berapi-api.
"Tenanglah, tenanglah," Eunji melambaikan tangannya, meminta lelaki itu untuk duduk kembali. Dan lelaki itu menuruti perintahnya. "Aku tahu perempuan itu merasa iri padaku, jadi dia bersikap seperti itu padaku. Tapi semakin hari sikapnya semakin keterlaluan. Aku mulai tidak tahan."
Eunji berpura-pura terisak. Namun melihat lelaki itu mencondongkan tubuh dan berusaha menyentuh wajahnya, Eunji langsung bergerak mundur dan mengangkat tangan. "Tidak apa-apa, jangan khawatir." Eunji mengambil tisu dan menyeka matanya yang sama sekali tak basah.
Lelaki itu kembali duduk di bangkunya, menatap Eunji prihatin. "Perempuan jalang itu pasti sudah benar-benar keterlaluan padamu! Bisa-bisanya dia membuat seorang dewi menangis seperti ini!" erangnya. "Katakan, apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Mm.." Eunji berdeham pelan. "Aku ingin kau memberinya pelajaran agar dia jera. Aku sudah lelah berbicara dengannya. Dia sama sekali tak mendengarkanku. Apa kau bisa melakukannya untukku?"
***
Seminggu berlalu, dan suasana tegang yang terjadi beberapa waktu lalu kini mulai mereda. Berkat 'jaringan' yang dimiliki Park Chanyeol, sekitar gedung tempat Moon Gayoung bekerja kini telah diawasi oleh petugas keamanan. Jadi, tidak ada seorang pun yang bisa membuat keributan lagi di sana.
Meskipun masih banyak gosip yang beredar tentangnya dan Park Chanyeol di kantor, setidaknya rekan-rekan kerjanya masih bersikap baik padanya. Bahkan, banyak diantara mereka yang mendukung hubungannya dengan lelaki itu. Padahal Gayoung sudah berulang kali menjelaskan bahwa dirinya dan Park Chanyeol hanya berteman.
Tapi setidaknya sekarang, Gayoung merasa lebih tenang berada di kantor. Ia tidak perlu takut orang-orang akan menyerangnya lagi. Dan bagaimana pun juga, ini berkat Park Chanyeol. Gayoung masih kepikiran, sejak terakhir kali ia bertemu dengan lelaki itu, ia belum mengucapkan terima kasih padanya.
"Gayoung-ah, sore ini aku ada urusan mendadak. Kau tidak apa-apa pulang sendiri?" Seolmi menatapnya cemas. Sahabatnya itu masih merasa khawatir padanya.
"Tidak apa-apa. Aku bisa pulang naik taksi." sahut Gayoung dengan seulas senyuman.
Sebenarnya ia masih merasa sedikit takut berkeliaran di luar sana. Tapi ia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Setidaknya saat ini ia harus bisa melindungi dirinya sendiri sampai keadaan benar-benar tenang, sampai ia bisa hidup normal kembali seperti dulu. Jika dulu ia bisa naik kendaraan umum, sekarang ia terpaksa harus naik taksi.
Seolmi mengangguk dengan berat hati. "Telepon aku jika terjadi sesuatu." ucapnya sebelum pergi meninggalkannya.
Gayoung turun ke lantai dasar dengan lift. Seisi gedung sudah sepi. Seorang resepsionis yang melihatnya berdiri, lalu menyapanya. "Nona Moon, hati-hati di jalan." ujar wanita itu tulus.
"Terima kasih." Gayoung tersenyum seraya berjalan ke arah pintu keluar.
Langit senja tampak menenangkan saat itu. Burung-burung terbang berdampingan menuju rumah mereka, seperti dirinya. Tapi bedanya, Gayoung harus pulang sendirian.
Gayoung menuruni anak tangga rendah dan berjalan menuju gerbang. Namun perhatiannya teralih saat mendengar suara seseorang yang menyerukan namanya. Bertepatan saat itu, sebuah mobil sedan berwarna hitam melaju kencang ke arahnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Ia dapat merasakan genggaman tangan seseorang yang menarik tangannya dengan keras sebelum tubuhnya membentur aspal. Dan ketika ia membuka mata, ia melihat sosok Park Chanyeol sudah tergeletak mengerang kesakitan memegangi sebelah kakinya. Spontan ia menjerit, "Park Chanyeol ssi!"
***
to be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] The First Met
RomanceBerawal dari sebuah ketidak-sengajaan yang dilakukan oleh Park Chanyeol, salah satu artis kelas atas di Korea Selatan yang membuatnya merasa harus bertanggung jawab atas hari-hari sulit yang akan dihadapi oleh Moon Gayoung, seorang desainer yang bar...