Asam Lambung Naik

26.1K 1.7K 16
                                    

Bertengkar karena manusia bernama Alisa?
Sudah biasa untukku tapi kali ini mungkin pertengkaran dimana aku sama sekali tidak berminat untuk menerima tawaran damainya. Aku benar-benar marah dan muak hingga aku tidak sudi untuk menjawab pertanyaan dan sapaannya sepanjang minggu ini.

Ya, kami tinggal satu atap, kami tidur di ranjang yang sama namun kami tidak berbicara lagi, terakhir kali aku berbicara dengannya saat aku dan dia bertengkar karena wanita sialan itu seminggu yang lalu. Sungguh permintaanku sederhana, berhentilah peduli dengan Alisa dan lihatlah aku, hargai pernikahan yang mengikat kami, tapi Saka tidak pernah mengerti hal sederhana seperti itu. Hanya Alisa, Alisa yang butuh bantuan, aku harus mengerti Alisa, Alisa, Alisa, Alisa, aku benar-benar muak dengan wanita tersebut. Jika memang sejak awal Saka mencintainya kenapa tidak kawin saja dengannya, toh mereka dari kecil tinggal di atap yang sama, kenapa Saka harus menerima perjodohan denganku! Kenapa dia tega menyakitiku hanya karena dia tidak bisa mengecewakan Ibu sambungnya. Kenapa dia tidak jujur kepadaku sejak awal! Kenapa, kenapa harus aku yang mengalami hal buruk ini?!

Demi Tuhan aku membencinya. Aku membenci perasaanku sendiri yang mencintainya seumur hidupku, dan kini aku membenci diriku yang sakit. Gara-gara makan malamku yang sialnya di ganggu oleh Saka dengan terus menyebut nama Alisa aku harus tidur dengan keadaan perut kosong, dan sudah bisa ditebak kelanjutannya. Asam lambungku naik, masuk angin, dan akhirnya aku sakit. Jika kalian bertanya apa suamiku sadar jika aku sakit, maka jawabannya tidak! Kami tidur di ranjang yang sama namun dia tidak tahu aku sakit.

Saka menganggap diamku adalah hal yang wajar, dan kemarahanku adalah hal yang biasa hingga membuatnya tidak terbebani saat melihatku belum bangun saat dia berangkat atau sudah tertidur saat dia pulang. Miris kan? Menyedihkan lebih tepatnya. Sudah aku bilang, dimatanya aku bukanlah apa-apa. Aku sama sekali tidak berarti untuknya.

"Mukamu pucat, Jun! Sakit kau?!"

Teguran dari Clayton, sepupuku yang kebetulan juga Manager di bagian produksi menegur saat dia datang tepat di jam 4 sore, seharusnya aku sudah waktunya pulang namun tubuhku sangat lemas, aku tidak nafsu makan, dan aku terus menerus mual, muntah hingga mengeluarkan cairan kuning pahit yang menunjukkan jika lambungku benar-benar bersih.

"Masuk angin, Clay! Kayaknya asam lambungku naik."

Bisa aku dengar Clayton menggerutu, tapi tak pelak anak dari Omku ini mendekat, dia meletakkan tangannya di dahiku untuk melihat suhu tubuhku.

"Bukan kayaknya sih, tapi emang kamunya sakit, Jun. Sana pergi ke klinik, mumpung dokternya masih ada! Lagian gue lihat-lihat lo makin kurus saja, nggak usah diet-diet segala, ntar susah buat bunting kalau lo terlalu kurus!"

"Mulut lo minta di cabein!"

"Demi kebaikan lo sendiri, Jun. Atau lo mau gue telponin si Saka biar dia jemput lo? Sekalian biar dia bawa lo ke rumah sakit? Lo bener-bener nggak sehat, Jun."

Mendengar apa yang dikatakan Clayton dengan basanya yang campur-campur gue, aku, lo, kamu membuatku mendengus geli, sepupuku yang cuek ini diam-diam ternyata perhatian juga hingga mengkhawatirkan kesehatanku hingga kondisiku yang tidak kunjung hamil. Ya gimana mau hamil kalau lakinya saja yang dipikirin wanita lain. Jika kalian berpikir aku akan curhat masalah rumah tanggaku pada Clayton maka kalian salah besar, aku tidak ingin menceritakan apapun kepada Clayton, itu sebabnya saat Clayton memintaku untuk ke klinik pabrik aku memilih menurut daripada dia berpanjang-panjang mulut sampai menghubungi Saka.

Semua orang, termasuk keluargaku, mengira jika rumah tanganku baik-baik saja, adem ayem tidak ada masalah dan bahagia. Sandiwaraku terlalu bagus, Saka terlalu mahir memainkan peran sebagai seorang suami yang sempurna.

Sungguh satu perjuangan untukku bisa berjalan ke klinik, setiap langkahku terasa melayang dengan pandangan yang buram, tubuhku bercucuran dengan keringat dingin dan perutku terus bergejolak, astaga, aku benar-benar sakit sekarang ini, dan dokter klinik pun langsung mengeluarkan erangan tidak sukanya saat mendapati keadaanku.

"Bu Juni kok bisa sampai kayak gini? Astaga, duitnya dipakai buat beli makan, Bu! Bisa-bisanya asam lambung Ibu separah ini. Kalau asam lambungnya naik gegara stres pergi saja shopping, hambur-hamburin saja uangnya biar nggak stress, Bu. Ya Allah, Ya Rabb!"

Bersemi Di Ujung PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang