Fabian Si Cepu

20.3K 1.5K 33
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HolllaaaaaaaaaaSelamat Datang di bab ACAK Bersemi diujung perpisahan, untuk lengkap dan urutnya kalian bisa baca di aplikasi diatas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holllaaaaaaaaaa
Selamat Datang di bab ACAK Bersemi diujung perpisahan, untuk lengkap dan urutnya kalian bisa baca di aplikasi diatas.
Happy reading semuanya

"Ayo pulang......."


Ajakan dari Saka terdengar memanggilku yang tengah asyik bersama dengan Fabian membagikan dua kantong permen yupi, sungguh aku benar-benar heran dengan Sersan satu ini karena stok permennya benar-benar melimpah, aku curiga di dalam ransel Fabian selain seragam dia hanya membawa berkantung-kantung permen hingga tidak ada habisnya.


Dan sekarang, setelah interaksi menyenangkan dengan anak-anak tersebut, suara Saka terdengar memanggilku. Aku tidak ingin menghampirinya namun Fabian justru bergumam.


"Mbak Juni mau diajakin pacaran tuh sama Komandan. Dia kemarin nanya-nanya ke Ndan Aryo pantai bagus dekat sini, kayaknya Komandan mau ajak Mbak Juni ke pantai deh. Itu sebabnya Komandan sampai bela-belain pinjem motor, padahal Mbak Juni tahu sendiri kan kalau Ndan Arya itu paling anti minta tolong."


Dasar Fabian si Cepu, bisa-bisanya dia bocoran rencana atasannya, rasanya geli sekali mendapati Fabian takut-takut ikut campur, disatu sisi dia khawatir akan dimarahi oleh Saka, disisi lainnya dia terlihat tidak tega jika harus mendapati atasannya kecewa untuk kesekian kalinya karena mendapatkan semprotan kemarahanku yang menolaknya.


Aku mendekati Fabian untuk mengimbangi bisikannya karena Saka yang semakin mendekat ke arah kamu, tentu saja Fabian yang merasakan jaraknya denganku semakin terkikis langsung tegang karena ketakutan, aku yang mendekatinya pasti tidak masuk ke dalam skenarionya, aku sangat paham jika Fabian tidak ingin membuat Saka marah karena mengira dia mendekatiku, tapi akunya yang ingin menyalakan kompor dalam situasi ini, itu sebabnya aku mengabaikan Fabian yang panik. "Berani ya kamu cepuin Komandanmu sendiri, kamu tahu kan kalau Komandanmu itu paling nggak suka juga dibantu sama dicepuin! Apalagi sampai ada indikasi dikasihani, Dahlah, habis kamu! Niat baikmu bakalan di terima beda sama dia. Yakin deh!"


Tampak Fabian menelan ludahnya ngeri, matanya yang jernih kini benar-benar menunjukkan kepanikannya yang membuatnya tampak jauh lebih muda.


"Mbak Juni, Please deh jangan terlalu mirip sama Ndan Arya, mentang-mentang suami istri terus hobi kalian mengintimidasi bikin keder kayak gini."


Aku menyeringai, menjulurkan lidahku mengejeknya seperti anak kecil, dan benar saja ketakutan Fabian kini terjadi, sesosok tubuh tinggi menyeruak diantara aku dan Fabian yang langsung memberi Fabian wajah angker yang tidak bersahabat, Fabian menelan ludah kelu tidak bisa berkata-kata saat Saka menegurnya.


"Apa-apaan kamu ini sama Nyonya Komandanmu, Yan! Bisa-bisanya kamu flirting ke istri Komandanmu di depan mata secara langsung."


Seruan kecemburuan Saka yang memburu tersebut membuat Fabian tampak ngeri, aku tidak melihat wajah Saka namun dari Fabian yang kini menegakkan tubuhnya dengan gemetar membuatku tahu jika Saka benar-benar marah. Kini Fabian dalam sikap tegapnya, menempatkan dirinya sebagai seorang Anggota bukan sebagai seorang teman di depan Saka.

"Siap salah, Komandan. Maaf saya lancang sudah berbicara terlalu banyak dengan istri Komandan."


"Bagus jika kamu paham kesalahanmu. Menyingkir dari hadapan saya, Sersan. Sebelum saya kehabisan kesabaran." Tidak perlu diperintah dua kali, Fabian berlari pergi, tapi sempat-sempatnya pria tersebut mengedipkan matanya ke arahku yang nyaris saja membuatnya dikejar Saka.

"Ingat yang saya kasih tahu barusan, Mbak." Teriaknya sambil cengengesan, yang membuat Saka mendengkus pelan, geram dengan cara cerdik Fabian dalam menghindari kemarahannya, jika Fabian menempatkan dirinya sebagai seorang anggota mau tidak mau Saka harus bersikap profesional tanpa melibatkan perasaan personal, aku beringsut ke samping melongok ke arah wajah Saka yang mengeras, hidungnya yang mbangir mengembang, khas dirinya jika tengah emosi. Sungguh, bukannya takut yang ada aku justru ingin tertawa dengan kecemburuannya.


"Kenapa kamu marah? Nggak asyik banget kamu ini, Ka. Ganggu orang ngobrol!" Cibirku saat dia membalas tatapanku.


"Aku? Ganggu kamu, kamu bilang, Ran?!" Sentaknya dengan suara keras seolah aku begitu meremehkannya, matanya terpejam sejenak, tangannya memijit puncak hidungnya seolah dia sangat lelah, sungguh aku benar-benar ingin menertawakannya, tapi semuanya aku tahan detik berikutnya saat dia membuka mata, aku bisa melihat wajahnya yang putus asa, "Katakan, gimana aku nggak cemburu kalau lihat kamu deket-deket sama cowok lain tepat di depan mataku sementara kamu acuhin aku. Aku cemburu tahu!"


"Emang boleh sejelas itu ngomong cemburunya?" Ledekku sambil meledak dalam tawa, melihatnya frustrasi hiburan tersendiri untukku, "padahal cuma ngobrol loh yang kamu lihat, belum denger kan aku minta ke Fabian buat pulang bareng! Gegara kamu nyamperin sih, hilang kan tumpangan aku! Nggak asyik bener kamu ini." Kudorong bahunya agar dia menyingkir, tapi Saka meraih tanganku tidak mengizinkanku pergi.


Normalnya, Saka akan berteriak, berkata tidak seharusnya aku meminta tumpangan ke orang lain sementara ada dia, harga diri dan egonya yang tinggi tidak akan terima jika dia tersingkir, dikalahkan orang lain, dia akan mengeluarkan kalimatnya yang menyebalkan namun sepertinya segalanya sudah benar-benar berubah. Dia tampak sebal, cemburu menguasainya namun dia hanya menghela nafas panjang.


"Kamu nggak mau balik sama aku, Ran?" Tanyanya pelan, seulas senyuman masam tersungging di wajahnya, menutupi hatinya yang aku tahu kecewa, berusaha untuk tidak berpuas diri mendapatinya frustrasi, aku mengangkat bahuku dengan acuh seolah aku tidak peduli.


"Kalau ada orang lain selain kamu aku pengen balik sama mereka saja, tapi sepertinya anggotamu nggak akan ada yang mau ngasih tumpangan ke aku, apalagi setelah yang kamu lakukan ke Fabian barusan."


"Jadi aku pilihan terakhir sekarang?"

Senyuman miris itu masih bertahan di wajah Saka, dia sepertinya nyeri mendengar jika dia menjadi opsi terakhir untukk saat mentok tidak ada yang lain, mau tidak mau karena terpaksa, hahaha, gimana rasanya Ka saat melihat seorang yang berharga untukmu mengacuhkanmu dan lebih peduli ke orang lain? Rasanya tidak enak kan menjadi pilihan terakhir orang yang kita sayang? Kurang lebihnya itulah yang aku rasakan dulu. Saat seharusnya kamu berada disisiku, aku justru melihatmu bersama dengan Alisa, terlepas apapun yang sebenarnya terjadi dibalik semua kesalahpahamanku membaca keadaan.


Aku bersedekap, mengangguk terhadapnya tanpa dosa, "kurang lebih seperti itulah."


Saka turut mengangguk, sepertinya dia mencoba berlapang dada menerima sikapku yang mengabaikannya, "Nggak apa-apa jadi opsi terakhir, yang penting jadi pilihan satu-satunya. Gimana lagi, mereka nggak akan berani putar balik buat nyamperin kamu lagi." tapi wajah pasrah itu hanya bertahan beberapa saat sebelum dia menyeringai kembali, tangannya terulur ke arahku seakan dia telah menemukan sebuah celah. "Jadi, selain pulang sama aku, kamu nggak mungkin kan balik jalan kaki. 10-15 km itu nggak deket loh buat jalan kaki."


Kedua alis tebalnya bergerak naik turun, menggodaku dengan sikapnya yang pandai bermain kata, jika sudah seperti ini bagaimana aku tidak tertawa, dibandingkan suami istri, kami lebih seperti teman yang bahasa kesehariannya adalah bertengkar, tangan itu masih terulur, memintaku untuk meraihnya namun yang aku lakukan justru menepuknya dengan keras sebelum akhirnya aku meraihnya, yang membuatnya menggonggong dalam tawa beratnya.

"Bisaan ya ini otak kancil!"


Tangan besar Saka meremas tanganku, setelah rasa jijik dan keterpaksaan menyelimutiku karena dia ketempelan ular beludak, perlahan kini rasa hangat familiar telah kembali, persis seperti menemukan barang lama yang sudah terlupakan dan kini kembali nostalgia rasa nyamannya begitu menyelimuti. "Aku meraih Adhimakayasa bukan tanpa alasan, Rania. Rugi jika aku tidak menggunakannya dalam kondisi seperti ini." Matanya yang tajam mengedip pelan, persis seperti yang dilakukan oleh Fabian, memang para Halo Dek ini punya pelet tersendiri di dalam kedipan mata mereka, "jadi, kita pulang sekarang?"


"Loh kok pulang sih?" Tanyaku kepadanya yang membuat Saka mengernyitkan dahi.

"Memangnya kamu mau kemana? Kayak ngerti aja daerah sini."

"Emang nggak ngerti, yang ngerti kan kamu yang abis nanya-nanya soal pantai ke Aryo."


Saka kira dia memenangkan perdebatan kecil kami? Oooh tidak, wajahnya memerah karena kejutannya gagal dieksekusi pasal keburu ketahuan, dan untuk kali ini aku harus berterimakasih ke laki-laki yang kecintaan sama permen yupi-nya untuk spoilernya.


"Harusnya jadi kejutan, Rania. Bukan malah ketahuan duluan kek gini."

Bersemi Di Ujung PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang