Membalasnya.

37K 2.2K 107
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hollaaaaa selamat datang di bab Acak Bersemi Diujung Perpisahan, untuk membaca secara lengkap dan berurutan kalian bisa baca secara di aplikasi KaryaKarsa, Kbm dan juga playbook

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hollaaaaa selamat datang di bab Acak Bersemi Diujung Perpisahan, untuk membaca secara lengkap dan berurutan kalian bisa baca secara di aplikasi KaryaKarsa, Kbm dan juga playbook.

Happy reading semuanya.

"Kamu hanya perlu ngomong dan minta ke aku, Rania. Dan aku akan ngelakuin apapun yang kamu minta. Sesederhana itu..."

"........."

"Kita hancur karena kita kurang komunikasi, terlalu tenggelam dalam prasangka, terlalu bingung menebak-nebak. Kamu tahu, aku pun bingung setiap kali kamu marah, Ran."

Mungkin memang benar semua masalah yang aku dan Saka hadapi karena kurangnya komunikasi diantara kami. Aku yang terlalu cemburu seharusnya tidak mengedepankan emosiku, dan berbicara langsung kepadanya tentang ketidaksukaanku kepada Alisa, sayangnya kebencianku kepada sikap Saka yang terkesan melindungi Alisa membuatku tidak pernah bisa berpikir dengan jernih.

"Jadi perasaanmu kepadanya sudah berubah? Tidak ada lagi cinta? Sejak kapan, kamu bisa menjelaskan? Katakan sejujurnya bagaimana sudut pandangmu mengenai semua hal brengsek yang kamu lakukan jika memang masalah kita itu komunikasi, karena yang aku lihat selama kita bersama, kamu itu begitu dingin. Sedangkan saat bersamanya kamu sangat hidup."

Sebenarnya aku masih ingin memarahinya, dan menolak apapun yang dia katakan, tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk berbicara dengan kepala dingin. Percayalah, aku lelah meledak-ledak, benar-benar menguras emosi, tenaga, dan kewarasanku.

"Aku memberimu kesempatan untuk pembelaan diri, Saka Aryaatmaja. Gunakan kesempatan ini sebaik mungkin."

"Apa itu salah satu kemurahan istriku yang cantik kepada suaminya yang malang?" Dengan kurangajarnya Saka mengedipkan matanya, menggodaku yang membuatku langsung memberinya pelototan keji. Tidak cukup hanya sampai disana, dengan sekuat tenaga aku mencubitnya dan kini putingnya yang menjadi sasaranku. Bodo amat dia kesakitan sampai kaing-kaing.

"Berhenti menggunakan kata suami-istri, Brengsek! Jika bukan karena Pangdam aku tidak mau bersanding di sampingmu dan memainkan peran istri taat yang sangat membosankan seperti sekarnag ini." Perlahan aku melepaskan genggaman tanganku darinya, dan kali ini Saka tidak menahannya, dia bersedekap menatap jauh ke arah langit yang mendung, bersiap untuk hujan kembali. Dia seperti berpikir keras untuk menyusun apa yang hendak dia katakan. Wajahnya yang sebelumnya tersenyum mesum kini kembali masam, seolah apapun yang akan dia katakan, dia pun tidak menyukainya.

Percayalah, aku juga tidak menyukai perbincangan ini, membicarakan suamiku tercinta dan problematikanya dengan mantan kekasihnya yang membuat rumah tangga kami hancur bukan hal yang menyenangkan untuk dibicarakan.

"Kita berteman, kemudian kita menikah. Jujur saja, awalnya aku sulit menerima perubahan ini, Rania. Apalagi aku memiliki Alisa. Aku menerimanya karena aku tidak bisa mengecewakan Bunda, kamu boleh memakiku untuk hal itu......"

"Iya, kamu memang brengsek. Berbakti pada orangtua tapi kamu menyakitiku....." tambahku kembali memakinya.

"Tapi bukan itu bagian terburuknya, Ran. Seharusnya saat aku menikahimu, aku memutuskan semua perasaanku kepada Alisa, tapi kenyataannya tidak semudah itu. Aku merasa bersalah kepadanya, Rania. Itu sebabnya sebisa mungkin aku menebusnya, tapi percayalah, aku berusaha sangat keras untuk mengubah perasaan itu. Bukan hal mudah mengubah perasaan cinta menjadi kepedulian layaknya saudara, apalagi Alisa hidupnya nyaris nggak pernah bahagia, Ran. Rasanya menyakitkan saat sadar aku juga menjadi salah satu orang yang menyakitinya. Aku merasa bersalah kepadanya, disatu sisi aku juga merasa bersalah kepadamu karena peduli pada wanita lain."

Lidahku gatal untuk menyela saat Saka berhenti berbicara namun aku memutuskan untuk melambaikan tanganku memintanya untuk melanjutkan, lebih baik segala hal menyebalkan ini segera diselesaikan, aku ingin melihat sudut pandangnya untuk bisa berpikir dengan benar.

"Masalah tentang aku yang mengasingkanmu dan menolak segala ajakanmu, tolong ingat dengan baik Rania, aku hanya akan menolak jika memang aku tidak bisa. Soal aku yang menurutmu menghabiskan waktu dengan Alisa, itu juga tidak sepenuhnya benar, kamu tahu kan kalau Batalyon kita dekat dengan RST, seringkali aku berpapasan dengannya, aku tidak sendiri, kamu tahu sendiri kan kalau ada beberapa orang yang sengaja mendekati Alisa, secara tidak langsung aku makan mengikuti mereka, Ran. Aku makan bersama mereka, bukan hanya bersama Alisa. Setelah Alisa menolak pria yang Papa jodohkan, aku merasa aku juga memiliki kewajiban untuk mencarikannya pria yang tepat."

"Aku nggak pernah tahu kalau rekanmu ada yang deketin Alisa....." ujarku ketus, menyangkal apa yang dia katakan meskipun aku menyadari jika Saka tidak berbohong. Aku mengenal Saka dan teman-temannya dengan baik, dan memang beberapa ada yang sengaja mendekati Alisa, tapi aku enggan untuk mengiyakannya. Dan Saka pun menyadari jika sangkalanku hanya untuk membuatnya kesal.

"Jangan berbohong, kamu tahu itu. Panji sendiri yang sering ngomong ke aku kalau dia suka curhat ke kamu!"

Aku memutar bola mataku malas, Saka ini nggak asyik banget, seharusnya dia pura-pura nggak tahu saja. "Dan kamu bisa bayangin gimana muaknya aku harus dengar nama anak pembantu kesayanganmu itu disebut-sebut? Nggak cukup kamu yang ketempelan, temanmu juga sering WA cuma perkara nanya apa yang disuka cewek cuma buat nyenengin itu anak pembantu kesayanganmu. Seharusnya aku jawab saja ke Panji kalau yang disuka cewek incarannya itu kamu! Saka Aryaatmaja yang disuka sama si Cinderella benalu!"

Kata-kataku begitu keji, jika biasanya Saka akan menegurku jika aku mengganti nama seseorang dengan panggilan yang menurutnya buruk, kali ini aku tidak mendapatkan ceramah perihal makianku barusan. Padahal jika dia hendak mengeluarkan kata-kata mutiaranya aku sudah menyiapkan tatapan sinisku yang mematikan.

"Iya, Sorry! Aku minta maaf." Ya, maaf untuk kesejuta kalinya sampai aku eneg, "tapi ya memang itu yang terjadi, Rania. Benar aku peduli ke Alisa, benar aku dulu punya perasaan ke dia, tapi aku juga sadar kalau aku harus rubah perasaanku. Aku berusaha ubah perasaanku ke dia menjadi sebatas saudara, aku juga berusaha memahami kamu sebagai pasangan. Katakan aku bodoh, nggak peka, atau brengsek, atau apapunlah, tapi selama ini aku nggak paham setiap kali kamu marah-marah, Rania."

"Ya aku marah karena kamu selalu sama Alisa. Nggak ada istri normal yang nggak akan marah kalau suaminya masih jalan sama mantan!"

"Masalahnya aku nggak tahu kalau kamu tahu hubungan masalaluku sama Alisa, Rania. Nggak ada yang tahu hubunganku sama Alisa, bahkan orangtuaku. Kamu tahu, Papa nyaris bunuh aku waktu tahu hal ini. Itu sebabnya aku nggak expect kamu marah-marah karena cemburu! Kalau aku tahu kamu cemburu, aku akan menjauh dari dulu kayak yang sekarang aku lakukan. Aku kira alasanmu marah-marah setiap kali aku nganterin Alisa pulang, dan hina-hina dia itu karena dia anak pembantu di rumahku....."

Semakin aku berbicara dengan Saka semakin aku pusing dibuatnya. Kenapa semakin dibahas kesalahpahaman diantara kami semakin terdengar konyol? Seburuk inikah missedcomunication?

"Terus apa motivasimu nyembunyiin fakta kalau kamu pernah sama Alisa dariku? Padahal kamu bisa saja jujur ke aku dari awal, Ka! Ketidakjujuranmu itu alasan terbesar kenapa aku selalu marah! Sikapmu ke Alisa itu sudah masuk perselingkuhan, Saka Aryaatmaja!"

Saka menghela nafas panjang, terlihat lelah dan frustrasi, bukan hanya dia, tapi aku juga. Bersamaan kamu mengangkat tangan, memijat hidung kami untuk mengurai stress, kadang kami tidak menyadari jika banyak persamaan diantara kami berdua bahkan dalam gesture terkecil.

"Aku nggak selingkuh, Rania. Aku selalu menempatkan diriku sebagai seornag Kakak. Sederhananya aku nggak mau kamu terbebani, aku ingin menyelesaikan masalaluku dengan Alisa tanpa melibatkanmu, Rania. Tapi aku lupa, kamu terlalu pintar dan terlalu mengenalku sampai-sampai tidak ada hal yang bisa aku sembunyikan. Kalau saja aku tahu kamu tahu semua hal ini dari awal, mungkin kita nggak akan jadi kayak gini. Salahku memang yang nggak jujur dari awal."

Aku tertawa kecil, mengejeknya dengan segala kerumitan yang dia buat sendiri.

"Memang salahmu, kamu nggak jujur salah. Kamu masih berhubungan dengan mantanmu nggak peduli apapun alasannya itu juga salah. Sekarnag katakan secara jujur, pernah kan satu waktu kamu berharap jika aku benar-benar ninggalin kamu supaya kamu bisa sama dia?"

Matanya bergerak gelisah saat mendengar pertanyaan terakhirku, aku tahu jika Saka sekarang tengah bergelut berada di dalam dilema untuk jujur atau mengelak, apapun jawabannya tidak akan menguntungkannya. Jakunnya bergerak cepat seolah apapun yang dia katakan akan melukainya.

"Dulu, dulu sekali, Rania. Diawal kita menikah,  aku pernah berharap jika ikatan ini tidak pernah ada, tapi ternyata aku sadar, pernikahan ini mengikatku lebih keras dari yang aku sadari."

Aku kira aku sudah mati rasa, namun nyatanya saat mendengar pengakuan Saka, sudut hatiku terasa terkoyak, yang akhirnya mengundang senyuman masamku. Perlahan aku mengikis jarak, semua kesalahpahaman telah diluruskan namun kata maaf itu begitu jauh untuk bisa diberikan.

"Aku berusaha jujur, Rania. Dulu, dan sekarnag semuanya berubah. Aku nggak bisa bayangin hidupku tanpa ada kamu. Aku sayang sama kamu, Rania. Kita mulai semuanya dari awal ya."

Saka bergerak dengan panik berusaha meraihku, dia tahu jika dia telah kehilanganku lagi, namun sayangnya aku tidak ingin disentuhnya lagi. Tubuhku menegak, menatapnya dengan penuh ejekan.

"Ini semua cuma obrolan biasa, Ka. Tidak berarti apa-apa, dan tidak mengubah keadaan apapun."

Wajahnya pias memucat, terkejut dengan kekejian yang aku lakukan kepadanya. Dia kira keadaan akan berubah dengan mudahnya hanya dengan sebuah penjelasan? Oooh tidak, suamiku tercinta ini harus merasakan betapa tidak enaknya diabaikan. Tahu kan sekarang dia pahitnya bersuara namun tidak dianggap.

"Terimakasih sudah memberitahuku sudut pandangmu."

Bersemi Di Ujung PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang