"Bu Arya"

31K 1.9K 39
                                    

Selama 29 tahun aku hidup aku belum pernah menginjakkan kakiku di bumi cenderawasih, dan saat akhirnya pesawat landing di Lantamal XIV Sorong, aku datang ke tempat yang tengah dilanda bencana. Banjir bandang dan tanah longsor, untuk sementara data yang masuk adalah 2000 orang lebih mengungsi dan berharap jika tidak ada korban jiwa. Bersama dengan volunteer lainnya aku bergerak, benar aku terbiasa hidup nyaman, tapi percayalah aku tidak semanja yang dikatakan Mami. Tidak ada keluhan yang keluar dari bibirku meski terjebak dalam genangan lumpur dengan ransel yang berat serta udara dingin yang tidak bersahabat. Suasana mencekam, kontras dengan pulau Jawa, aku benar-benar seperti memasuki dunia yang berbeda saat berada disini. Rasanya seperti mundur beberapa tahun saat disini.

Bersama tim gabungan TNI-Polri-Basarnas dan dinas kesehatan serta para volunteer, kami semua bahu membahu melakukan evakuasi mereka yang masih terjebak, membangun tenda dan dapur untuk pengungsian, juga mencari mereka yang hilang, dan melakukan pertolongan bagi mereka yang terluka. Semuanya serba cepat, tergesa-gesa, bahkan untuk sekedar menghela nafas pun terasa tidak sempat.

Syukurlah aku bisa tidur saat di pesawat, karena saat akhirnya kami sudah turun di lapangan, kami nyaris tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Aku membantu bukan hanya dokter Ayudia, tapi siapapun yang membutuhkan, terimakasih Ya Allah karena dulu aku mengambil ekstrakurikuler Palang merah, terimakasih juga kepada PT Mami dan Papi yang tidak pernah absen untuk mengadakan pelatihan rutin tanggap bencana, kini semua hal itu membangunku menjadi seorang yang sigap dalam melakukan pertolongan pertama.

Siapa yang menyangka jika si anak manja ini kini bisa memberikan sedikit bantuan. Dokter Ayudia saja sampai geleng-geleng mendapatiku yang begitu bertekad. Yah, setidaknya disini aku merasa sedikit berguna, rasanya lelahku terbayar dengan mengerikan meskipun nyaris 30 jam aku tidak tidur, baru saat akhirnya tim kedua datang, aku dan dokter Ayudia bisa meluruskan punggung kami.

"Aku nggak percaya Kak Juni baru pertama kali turun gunung kek gini....." kantung mata tebal terlihat di wajah cantik tunangan Dani tersebut, aku melihatnya menguap lebar namun dia masih tetap terlihat cantik.

Aku mengusap wajahku dengan tisu basah, mengurangi kantukku sebelum aku tersenyum menatapnya, "kamu tahu dok, sebenarnya alasanku pergi sejauh ini karena aku ingin menyembuhkan diri. Dan rupanya yang dikatakan tunanganmu memang benar, bekerja keras hingga otak tidak sempat berpikir ternyata sukses membuat kita melupakan luka barang sejenak."

...
....
...

Hujan terus menerus turun sejak aku datang kesini memperburuk keadaan yang sudah terlanjur buruk. Empat distrik terendam banjir setinggi 1,2 meter, longsor yang terjadi memakan satu orang korban, 6 luka berat, dan 16 luka ringan, dan nyaris 500 orang terdampak yang kini menambah volume pengungsi di tenda pengungsian yang disediakan.

Selama waktu itu aku nyaris tidak beristirahat dengan benar karena aku dan Ayudia hampir sepenuhnya di barak kesehatan, tidur ayam karena banyak yang harus dirawat, banyak yang datang karena terluka sementara mereka yang ada di pengungsian mulai terjangkit penyakit menular membuatku tidak bisa segera menghubungi orangtuaku yang pasti tengah cemas memikirkanku. Bukan hanya tim medis yang keteteran, pasukan gabungan pun kesulitan melakukan evakuasi ditempat yang terdampak longsor, minim alat berat, sulitnya akses karena banjir yang tidak kunjung reda, dan buruknya cuaca memperlambat semua pekerjaan.

Mungkin itu sebabnya sejak aku turun dari pesawat hingga nyaris seminggu lebih aku tidak melihat batang hidung Pria yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku. Tentu saja sebagai salah satu pemimpin yang khusus dikirim untuk penyelamatan si Brengsek itu menjadi penggerak utama. Beberapa anggotanya yang memang mengenaliku sebagai Nyonya Aryaatmaja hendak menyapaku saat kami tidak sengaja berpapasan sangat mengirimkan korban untuk perawatan, namun seketika mereka mengurungkan niatnya karena melihat wajah angkerku yang memelototi mereka memperingatkan untuk tidak menyapa. Aku sama sekali tidak berminat untuk ditanyai soal hubunganku dengan Saka oleh volunteer lain. Sudah aku bilang kan, aku ingin menjauh dari semua hal yang berbau atau berhubungan dengan pria bernama Saka Aryaatmaja.

Bersemi Di Ujung PerpisahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang