Kecewanya Seorang Sahabat

525 53 20
                                    

Semua orang yang mengenal Cakra ingin lebih dekat dengan cowok itu. Semua teman sekelasnya menyayangi Cakra. Ia memang dikenal pribadi yang baik. Bahkan tak segan untuk merangkul dan mengajari temannya yang belum menguasai materi selama ia mampu. Mata awam pasti akan mengira Cakra adalah sosok sempurna tanpa beban. Padahal kenyataannya berkata sebaliknya.

"Mama kan udah bilang, Cakrawala. Jangan ikut pelajaran PJOK. Kalau pengin ikut, ikut prakteknya aja. Itu pun lihat, olahraga apa dulu. Sakit kamu itu bikin gampang kena infeksi dan perdarahan."

Cakra yang sekarang duduk di sofa bersandar di bahu Abimana semakin memejamkan mata. Omelan Airin membuat kepalanya semakin terasa berputar. Nyatanya beristirahat di UKS selama dua jam tak mampu membuatnya lebih baik. Osean mau tak mau memaksa sang sahabat pulang ke rumah.

"Tante, jangan dimarahin dulu. Makin pusing dia."

Airin mengembuskan napas pelan. Emosinya memang sedikit naik saat Cakra pulang dalam keadaan hampir pingsan. Wanita itu panik luar biasa. Apalagi memang belakangan ini kondisi sang putra sering drop hingga membuat trombositnya turun.

"Makasih ya, Sean. Maaf gara-gara anter Cakra kamu jadi harus ketinggalan pelajaran."

Osean menggeleng. "Tante kayak sama siapa aja. Cakra udah kayak saudara aku sendiri."

Dalam pejamnya, Cakra menertawakan dirinya sendiri yang bahkan tak bisa sebebas anak lain. Baru berada di bawah terik matahari sebentar saja sudah membuat kepalanya seolah berputar.

"Kalau gitu Sean pulang dulu ya, Tante. Abang, Cak, gue pulang dulu."

Baik Airin maupun Abimana mengangguk. Keduanya pun kembali fokus pada si tengah yang masih tak kuat walau hanya untuk membuka mata.

"Besok-besok jangan gini lagi ya, Nak. Adek kamu lagi sakit. Jadi fokusnya mama kebagi. Jadi makin repot."

Entah kenapa ucapan Airin membuat Cakra cukup terluka. Ia berpikir, secara tak langsung ucapan Airin menunjukkan bahwa wanita kerepotan merawatnya. Namun alih-alih mengungkapkannya, Cakra lebih memilih memendamnya. Biar bagaimana pun, menurutnya ia memang merepotkan. 

"Iya, Mama. Aku mau tidur di kamar. Mama ke Tala aja."

Cakra berniat untuk melangkah sendiri. Namun begitu ia berdiri, si sulung ikut bangkit seraya memapahnya. Tak ingin membantah dan membuat semua anggota keluarganya kerepotan, Cakra hanya pasrah.

"Kamu mau makan apa, Cak?"

Abimana bertanya seraya tetap membantu Cakra melangkah menaiki anak tangga. Ditanya sang kakak, sejujurnya Cakra pun bingung. Napsu makannya menguap begitu saja. Apalagi setelah mendengar ucapan Airin.

Mamanya kerepotan mengurus cowok yang sakit-sakitan sepertinya.

Sebenarnya Cakra memiliki sifat gampang over thinking. Cowok itu akan menyimpan dalam-dalam perkataan orang yang membuatnya merasa tak nyaman. Seperti yang ia lakukan saat ini. Pemikiran bahwa ia merepotkan kembali singgah di otaknya.

Apa yang lo harepin, Cakra? Lo emang nyusahin.

Cakra merebahkan tubuhnya dibantu Abimana. Dalam keheningan ia melihat pergerakan si sulung yang menyelimutinya. Lubuk hatinya kembali menyimpan rasa bersalah. Abimana memiliki jadwal kuliah pagi, dan kakaknya itu harus mengurusnya yang menyusahkan dulu.

"Kenapa bengong?"

Cakra terkesiap. Cowok itu tak sadar telah melamun selama beberapa saat hingga membuat Abimana menyadari. Gelengan pelan Abimana dapatkan. Sulung tangguh itu sebenarnya tahu isi hati Cakra. Abimana tahu adiknya terpikirkan kata terakhir Airin. Namun alih-alih membahas soal mamanya, Abimana lebih memilih memandang dalam wajah lelah sang adik.

"Capek ya? Boleh kok buat istirahat. Tapi jangan coba-coba nyerah ya, Cak."

Mendengar nasehat sang kakak membuat Cakra kembali berusaha sekuat mungkin menekan perasaan sesaknya. Cakra adalah tipe yang akan berusaha memendam semua masalahnya sendiri.

"Iya, Bang. Makasih, ya."

Cakra pura-pura menguap agar Abimana paham untuk segera keluar dari kamarnya. Menenangkan diri untuk beberapa waktu ke depan mungkin bisa memperbaiki mood-nya.

"Oke. Abang ke kampus dulu ya. Istirahat sepuas kamu."

Abimana mengusak helaian rambut sang adik sejenak, sebelum akhirnya melesat keluar dari kamar bernuansa biru itu. Meninggalkan Cakra yang akhirnya bisa melepas topengnya. Cowok 16 tahun itu merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya memandang ke arah jendela yang memamerkan langit yang tampak cerah. Biru terlihat menghiasi cakrawala.

"Maaf ya Allah. Tapi ini capek banget. Rasanya pengin nyerah." Cakra berbisik lirih hingga suaranya hanya dapat didengar olehnya sendiri.

Pandangannya mengarah pada tangan kanannya yang terdapat beberapa bekas jarum infus yang tak akan hilang selama 1-2 minggu ke depan. Itulah sebabnya selama beberapa hari ini ia memakai jaket demi menutupi tangannya yang sempat agak membengkak dan sedikit lebam.

"Kalau dipikir-pikir gue emang ngerepotin."

Cakra mengulum bibirnya, membentuk senyum sendu. Ia adalah manusia biasa. Sebenarnya kata menyerah itu sudah sering menyambangi pikirannya. Tapi seringkali pula rasa takut akan dosa muncul dalam benaknya. Bahkan kala itu Cakra pernah dengan sengaja tak meminum obatnya tepat waktu.

***

Libur panjang tanggal merah di akhir pekan akhirnya datang. Sesuai dengan kesepakatan Enheaven band, hari ini mereka akan menampilkan 2 lagu di kafe milik saudara Nero. Kabar mereka akan perform di kafe telah menyebar. Kini banyak orang yang ingin melihat penampilan keempat anak muda itu.

"Sial. Ini Osean ke mana sih?"

Harsa berulangkali melirik jam tangannya. Sebentar lagi mereka akan segera tampil, namun sang vokalis belum juga menunjukkan batang hidungnya.

"Hapenya juga nggak aktif. Gimana ini?" Cakra angkat bicara.

"Telepon pacarnya, Bang."

Nero yang sejak tadi duduk terpekur pun ikut bersuara. Aura cowok itu cukup berbeda. Bahkan raut wajahnya terlihat suram.

"Hah?"

"Gue yakin Bang Sean ada sama si Jasmin. Loudspeaker, Bang."

Hati Cakra kembali merasakan sesak mendengar nama itu lagi. Namun mengingat keadaan sedang genting, Cakra mengesampingkan perasaannya. Cowok itu segera memenuhi perintah si termuda. Dan begitu teleponnya tersambung, suara seseorang yang ia rindukan menyapa rungunya.

"H-Halo, Kak Cakra?"

Cakra mengatur suaranya agar terlihat tenang. Dan hal itu tak luput dari pandangan tajam Nero dan Harsa.

"Halo, Jasmin. Oseannya ada sama lo?"

"Anu, Kak. Iya, Kak Osean lagi sama aku. Lagi makan di resto."

Ucapan Jasmin di seberang sana berhasil memantik emosi kedua sahabat Cakra. Apalagi Nero yang kini sudah merebut ponsel milik Cakra.

"Bagus. Sekarang kasih hape lo ke pacar lo itu."

Nada suara Nero begitu dingin hingga membuat tubuh Jasmin di seberang sana menegang.

"Siapa yang telepon, Yang?"

Cakra berusaha untuk bersikap biasa saja saat suara lembut Osean di seberang sana menyapa indera pendengarannya. Sekali lagi, Harsa melihatnya dalam diam.

"I-Ini, Kak Cakra."

"Mampus gue lupa. Siniin hape kamu."

Nero mendengkus kesal. Cowok itu melirik sejenak Cakra yang kini duduk di sampingnya.

"Cak--"

"Lanjut pacaran aja. Kita bisa perform tanpa lo. Urus aja pacar lo. Kagak usah mikirin sahabat lo."

Nero memutus sambungan telepon sepihak. Aura suram semakin terlukis di wajah cowok berdarah Jepang itu. Untuk pertama kali Osean mengecewakan mereka hanya demi cewek yang baru saja dikenalnya.

"Nggak apa-apa, Ner. Biar Harsa yang gantiin Osean."

Tbc

Bumantara Berkabut Nestapa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang